Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Api

20 April 2017   15:01 Diperbarui: 21 April 2017   07:00 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Suka mukul juga?”

“Nggak pernah! Paling suara ibuku saja yang keras. Dia sering mengajakku jalan-jalan. Kalau ibuku marah besar, paling-paling karena aku memecahkan piring. Atau, menghambur-hamburkan makanan. Mencubit adikku. Kalau kau?”

Saya meringis. Rasa perih di betis dan ngilu di tulang, telah hilang. Tapi perih di telinga bekas jeweran Ibu, tetap terasa. Ibu memberi bonus pagi-pagi, sebuah jeweran, saat Ayah sudah berangkat kerja. “Gara-gara kau, aku diamuk tadi malam!” geramnya.

“Aku pulang dulu.” Saya berlari menuju rumah. Hampir jam empat sore. Saya tak ingin Ibu menjerit-jerit memanggil saya untuk mandi. Saya ingin Ibu sekali ini bisa tersenyum melihat saya pulang dengan baju dan badan bebas kotoran. Tadi pagi setelah dijewer Ibu, saya berdoa kepada Tuhan, agar Ibu tersenyum. Selalu tersenyum. Bahagia rasanya mempunyai Ibu yang suka tersenyum. Ayah pasti senang. Dan tak ada lagi perang di rumah saya.

“Tole, jangan pergi dulu! Kau belum menjawab pertanyaanku.” Saya tidak menoleh, hanya  berhenti berlari, dan berjalan tertunduk-tunduk seolah mencari benda renik yang susah ditemukan. “Lihat, layangan itu putus! Ayo, kita kejar!” Yon berlari mengejar layangan putus itu. Saya mengelus dada lega. Jangan sampai dia tahu kalau Ibu itu api. Dia bisa bercerita kepada ibu atau ayahnya. Mereka akan kasak-kusuk. Mereka bercerita kepada tetangga, kepada wartawan, dan urusannya pasti polisi dan penjara. Tuhan, saya takut kehilangan Ibu. Kasihan Adik. Kasihan Ayah harus gantian memaki-maki PAM dan PLN. Ayah mungkin akan kehilangan senyuman. Akan tumbuh tanduk di kepala Ayah. Cukup sudah api di tubuh Ibu dan padam di penjara. Jangan sampai Ayah menanduk Adik. Biarlah saya saja yang ditanduk. Biarlah!

Saya kembali berlari. Saya melihat atap rumah saya dari jauh seperti berasap. Apakah amarah Ibu melebihi ubun dan membakar atap rumah?


Saya semakin mengencangkan lari. Tapi Pak Ijo menghentikan saya. Dia membawa setandan pisang. Dia baru saja panen pisang. Tiga buah diberikan kepada saya. “Katakan kepada ibumu, nanti malam saya antar lima sisir pisang ke rumahmu, Tole! Bayarnya, bisa kapan-kapan saja.” Dia semringah.

“Terima kasih, Pak Oji!” Saya kembali berlari, dan berhenti di depan pintu rumah. Saya melihat atap rumah, utuh. Tak ada asap. Belakangan ini saya memang suka melihat yang bukan-bukan. Menghkhayal saja!

Beruntung sekali Ibu tak menunggu saya dengan gagang sapu. Mungkin dia takut kehilangan sapu baru  karena kalah kuat dengan betis saya. Ada  baiknya menikmati pisang dulu, sebelum api Ibu tak hanya merubah saya menjadi abu, juga pisang itu.

 Saya menikmati pisang itu. Benar-benar menikmati. Saya sampai tak menyadari, mendadak Ibu menjelma api. Membuka pintu dan menghunus sebatang lidi. Langkahnya panjang mendekati saya. Siap-siap mencambuk, tapi akhirnya dia jatuh terpeleset. Belakang kepalanya menghantam lantai.

Saya seperti bermimpi melihatnya demikian. Entahlah, apakah saya perlu tertawa atau menyesali keteledoran saya. Harusnya, saya tak membuang kulit pisang sembarangan.  Ibu yang sembarangan mengumbar api, pun lupa kalau kakinya tak bermata. Dia menginjak kulit pisang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun