Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Ibu Api

20 April 2017   15:01 Diperbarui: 21 April 2017   07:00 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Susu Adik sering tanpa persediaan. Adik suka menangis menjerit-jerit. Kendati Ibu menyorongkan dadanya, Adik ogah dan meronta. Dia lebih suka susu formula. Ibu salah. Itu yang saya tahu dari celoteh Ayah. Saat Adik lahir, Ibu malas-malasan menyusuinya. Adik juga pemilih. Tak sembarang susu dia mau. Bila susu murah, dia ogah meminumnya. Kalaupun dipaksa Ibu, hasilnya Adik sakit perut. Ayah akhirnya mengamuk. Ibu hanya diam. Tapi dari kilat matanya, saya tahu, ketika Ayah tak ada bersama kami, dia akan membakar saya. Sampai menjadi abu.

***

“Tole belum tidur?” Ayah tiba-tiba sudah ada di ruang tamu. Saya langsung mematikan televisi. Pukul sembilan malam bukanlah waktu yang tepat bagi anak seperti saya tetap terjaga. Apalagi sambil menonton televisi yang acaranya semua untuk dewasa. Tapi pukulan Ibu dengan gagang sapu, masih terasa. Perih di kulit betis dan ngilu di tulang. Ibu sempat berbaik-baik kepada saya sebelum dia tidur. Menanyakan kabar betis saya. Saya mengatakan baik-baik saja. Sebelum dia menutup pintu pelan, dia menatap saya tajam, merupakan ancaman agar saya jangan buka mulut, atau dia akan membakar saya menjadi abu.

“Belum, Yah! Tole nunggu Ayah,” jawab saya berbohong. Jangan sampai Ayah tahu kalau betis saya memar. Bisa marah besar dia. Dia paling tak setuju seorang tua menganiaya anak. Anak itu amanah dari Tuhan. Dulu, Ayah dan Ibu mengusahakan bertahun-tahun, berobat ke dokter dan orang pintar, agar punya anak. Tak putus-putus mereka berdoa kepada Tuhan, yang kemudian mengamanahkan anak bernama Tole. Bila kemudian dia mengetahui Ibu menyiksa---oh, bukan---memarahi saya, bisa terjadi perang. Tak perduli perang malam-malam, siang-siang, atau pun fajar. Begitupun, saya tetap ragu apakah saya hanya kain gombal yang mereka temukan di jalanan, atau memang kain empuk, bersih dan harum seperti Adik.

“Kakimu kenapa?” Mata Ayah selalu lebih awas dari perkiraan saya. Meskipun saya mencoba menutup-nutupi sedari tadi, dia tetap bisa melihat memar di betis saya. “Itu perbuatan Ibu, ya?” Suara Ayah melengking. Ayah bekerja sebagai karyawan di bagian mesin pabrik. Dia bekerja dalam ruangan yang panas dan pengap. Maka, bila ada sesuatu yang mencederai hatinya, sangat cepat pula amarahnya memanas.

Apa yang saya bayangkan bakal ada perang, kini terjadilah. Ayah melangkah panjang-panjang menuju kamar. Pintu kamar dibuka keras. Daun pintu menghantam dinding. Ibu berteriak, lalu terdiam. Adik menjerit, memangis, lalu tak mau diam. Ayah menceracau tentang penganiayaan. Tentang hak asazi anak. Tentang hukum penganiayaan. Tentang kantor polisi. Penjara.


Ibu menangis. Bila berhadapan dengan Ayah, dia padam, menjadi air. Tak sempat lagi saya mendengar ceracauan Ayah. Saya memilih berlari menuju kamar. Saya melompat ke atas tempat tidur. Menutup seluruh tubuh dengan selimut. Menutup dua telinga dengan bantal. Menutup mata, berharap saya akan terlelap, lalu terbangun besok hari dengan kondisi Ayah setenang telaga. Dengan kondisi Ibu, biar pun tak setenang telaga, tapi setenang sungai tanpa bebatuan.

Dan besok paginya, Ayah seperti biasa, setenang telaga. Dia berbincang banyak dengan saya. Dia berjanji membelikan saya sepeda, bila saya naik kelas tahun ini.

***

“Ibumu suka marah, Yon?” tanya saya saat bermain berdua Yon di tanah lapang.

“Suka juga. Sesekali,” jawabnya. Mata Yon awas memerhatikan layangan di atas sana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun