Mohon tunggu...
Ricko Blues
Ricko Blues Mohon Tunggu... Freelancer - above us only sky

Sebab mundur adalah pengkhianatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Di Hadapan Mesin ATM, Kecemasan Kita Berbeda

31 Desember 2020   09:59 Diperbarui: 31 Desember 2020   10:08 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi dari shutterstock via lifepal.co.id

Orang-orang tidak menunjukkan kecemasan mereka di segala tempat. Namun, hanya ada satu tempat di mana kecemasan setiap orang nampak kasat mata. Di tempat itu, kecemasan seolah menonjolkan wajahnya yang natural sekaligus khas tiap-tiap individu. Tempat itu adalah gerai mesin Anjungan Tunai Mandiri atau Authometic Teller Machine, sebuah gerai kecil yang disiapkan Bank di sudut-sudut kota, tempat orang melakukan transaksi uang tunai secara mandiri.

Saya suka memperhatikan wajah orang yang masuk maupun keluar dari gerai sempit tersebut. Tingkah, raut wajah dan langkah kaki mereka yang hendak menggunakan jasa mesin uang otomatis itu setidaknya menggambarkan satu ciri manusia yang paling purba yakni kecemasan.

Di dalam ruang kecil depan mesin ATM, seorang manusia seolah bertarung dengan hidupnya dalam durasi waktu yang begitu singkat. Nominal uang yang ada di dalam rekening terlihat seperti representasi materialistik seorang homo faber (manusia pekerja). Seberapa besar uang yang tertulis di dalam layar mesin ATM menentukan langkah hidup seorang anak zaman; tentang bagaimana dia harus makan, minum, membeli pakaian dan membayar pajak negara.

Sebagai manusia dewasa, bukan lagi anak-anak, gerai ATM adalah ruang sakral, atau dalam tradisi Katolik, tempat itu seperti ruang pengakuan dosa. Saya sebagai pendosa dan mesin itu sebagai imam yang siap mendengar keluh-kesah dan rintihan hidup anak manusia yang berlumur salah.

Dalam beberapa kali pengamatan, saya mendapati banyak jenis manusia menggunakan jasa mesin ATM. Setiap jenisnya menampakan kecemasannya masing-masing. Ada seorang pria berjas, kacamata hitam disematkan di atas kepalanya, turun dari mobil di depan gerai mesin ATM yang sepi akan nasabah. 

Dia masuk, mengutak-atik tombol-tombol mesin itu dan beberapa lembar rupiah berwarna merah keluar dari dalamnya. Hanya sekitar 3 menit dia ada di dalam gerai. Pria itu kemudian keluar dengan wajah cerah, tenang dan berjalan kembali ke arah mobilnya. Beberapa lembar uang yang baru saja dia tarik sudah ada di dalam dompet. Sebelum pergi menghilang, dia masih sempat tersenyum kepada seorang ibu paruh baya yang baru saja datang untuk  menggunakan jasa mesin ATM.

Ibu itu berseragam pegawai negeri sipil. Dari atribut yang dia kenakan, saya segera tahu kalau dia seorang guru sekolah menengah pertama di kota kecil Lewoleba, Kabupaten Lembata. Selepas tersenyum kepada pria berjas tadi, rona muka ibu itu langsung berubah saat masuk ke dalam gerai. Dia sedikit murung. 

Dari balik kaca gerai, saya melihat dia mengeluarkan kartu ATM dari dalam sebuah dompet hitam yang disimpan di dalam tas. Kemudian, dia membuka layar ponsel sembari memasukkan kartu ATM tersebut ke dalam mesin. Beberapa nomor dia masukan. Sepotong kertas struk keluar dari dalam mesin. 

Tidak seperti pria berjas tadi, ibu ini tak membawa pulang beberapa lembar uang. Dia kemudian keluar dari dalam gerai, menarik napas agak panjang. Ketika mata kami beradu, dia menyungging senyum yang dipaksakan. Saya maklum, ibu ini baru saja bergulat hebat di hadapan mesin ATM. 

Wajahnya berkeringat, dahinya mengernyit, dan sorot matanya tidak fokus. Sekilas saya bisa menduga-duga, menebak-nebak; ada utang yang dia harus lunasi, atau anaknya yang kuliah di seberang harus segera membayar uang registrasi, atau pulsa listrik di rumah habis atau bisa saja dia baru saja membayar cicilan kredit. Ibu itu kemudian pergi dan sepertinya akan kembali lagi.

Pada hari yang berbeda, saya mendapati seorang ibu berusia 50-an tahun, bersama anak laki-lakinya berumur sekitar lima tahun masuk ke dalam gerai ATM di tengah Kota Lewoleba. Ibu itu tampak kebingungan di dalam gerai, dia keluar dan menghampiri saya, "boleh minta tolong?" katanya sambil menyodorkan kartu ATM berwarna merah. Kartu itu khusus dimiliki oleh warga miskin yang masuk dalam program pemerintah melalui Kementerian Sosial yakni Program Keluarga Harapan (PKH). Dia meminta saya membantunya mengecek berapa saldo di dalam rekeningnya.

"Bantu mama dulu, mama tidak tahu pake," ungkapnya tersenyum. Saya pun antusias membantu sekaligus menunjukkan kepadanya bagaimana menggunakan ATM. Dia menyimak dengan antusias.

"Masih ada 900 ribu rupiah," kata saya menunjuk jumlah saldo di dalam rekeningnya. Ibu itu mengangguk, sedikit tersipu malu, saya tersenyum.

"Kalau begitu tarik 800 ribu," sambungnya.

Dia mengucap terima kasih karena saya telah membantunya di dalam gerai.

Kebetulan di seberang jalan ada sebuah toko sembako. Saya memperhatikan ibu itu, masih bersama bocah laki-lakinya, masuk ke dalam toko dan keluar dengan sekantong kebutuhan rumah tangganya.

Gerai ATM memang bukan sekadar mesin uang. Ada tersimpan harapan sekaligus kecemasan di dalamnya. Keduanya berbeda dimensinya dalam diri setiap individu.

Kecemasan, dalam bahasa mistikus Heidegger, bermakna lebih kompleks dari rasa takut. Bagi dia, rasa takut atau ketakutan selalu memiliki objek. Misalnya, seorang anak yang takut anjing, atau takut setan, atau takut guru matematika yang galak. Sebaliknya, kecemasan tak memiliki objek. Di hadapan mesin ATM, pergulatan yang dialami manusia jauh melampaui rasa takutnya karena tak bisa membayang utang, atau tidak bisa membeli sembako atau tidak bisa membayar cicilan kredit.

Menurut Heidegger, manusia (Da Sein) itu 'terlempar' begitu saja ke dunia, tak tahu asal dan tujuannya untuk apa. Manusia kemudian memaknainya dengan pelbagai cara. 

Lalu, kecemasan membawa manusia menyentuh relung hidupnya yang paling dalam; tentang bagaimana manusia yang 'terlempar begitu saja ke dunia memaknai keterlemparannya itu. Kecemasan sejenak membawa manusia keluar dari rutinitas kesehariannya. Kecemasan merupakan suasana hati yang menimbulkan kepekaan akan eksistensi manusia.

Bagi seorang penguasaha kaya raya yang punya banyak uang, bukan hal yang tak perlu dicemaskan, mengeluarkan uang sejuta untuk biaya reparasi mobil misalnya. Bagi seorang guru pegawai negeri sipil uang sejuta itu setengah dari gaji pokoknya sebulan yang bisa dimanfaatkan untuk membayar cicilan, uang registrasi anaknya yang masih kuliah dan kebutuhan rumah tangga. Lalu, bagi seorang ibu dari keluarga miskin uang sejuta bernilai sekali untuk keberlangsungan hidupnya. Berhadapan dengan momen-momen keputusan itu, seorang manusia bertarung dengan hidupnya. 

Membayar cicilan atau membeli beras, mengirim uang untuk anak kuliah atau memperbaiki atap rumah yang bolong. Pertimbangan-pertimbangan ini menimbulkan kecemasan. Suasana hati jenis ini mengarah kepada masa depan dan selalu bersentuhan langsung dengan eksistensi manusia, keberadaan manusia di dunia serta mengarah pada kematian.  

Jadi, di hadapan mesin ATM, kita berhadapan langsung dengan masa depan yang kemudian mengarah pada kematian, akhir dari keseluruhan eksistensi manusia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun