Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Hilang Tak Kembali

15 September 2021   04:30 Diperbarui: 15 September 2021   04:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jangankan tidur pulas, untuk sebentar memejam saja susah. Tusukan udara malam itu tembus sampai tulang. Ngilu rasa persendian. Hujan seharian. Penuh. Sejak kemarin malam sampai malam lagi. 

Di kamarku nyaris tak ada yang kering. Hanya tiga potong baju dan dua potong celana. Kasurku ikut basah. Terpaksa malam itu kami—aku dan adikku—meringkuk di atas almari.

Ibu dan Bapak, juga adikku yang paling kecil, telah diungsikan. Hanya kami berdua tinggal di rumah. Berjaga-jaga. Ya, dalam situasi seperti sekarang rasa aman menjadi pertaruhan. 

Demi keamanan kenyamanan ditanggalkan. Demi keamanan kadang nyawa dijadikan jaminan. Betapa keamanan, mahal harganya.

Sebentar, jangan disangka-sangka dulu. Kami berjaga-jaga bukan karena takut ada yang raib dari rumah. Bukan pula karena khawatir kalau-kalau ada seseorang yang tiba-tiba masuk ke rumah tanpa permisi, lantas mengambil sesuatu dari rumah kami. Tanpa pencuri pun sudah pasti ada yang hilang dari rumah kami.

Ya, sudah puluhan tahun rumah kami dipenuhi air. Dan setiap surut kemudian, selalu ada yang hilang setelah kami memeriksa semuanya. Entah hanyut. Entah hancur. Entah pula karena apa. Sampai pada suatu hari, Ibu dan Bapak hanya pasrah.

Hilang ya hilang. Mau diapain lagi?” kata Bapak.

“Tapi kan eman-eman, Pak,” ucap Ibu sedikit menekan.

“Ya, ambil hikmahnya, Bu. Yang sudah hilang, itu artinya sudah diambil sama pemiliknya. Gusti Allah. Siapa tahu, Gusti Allah bakal menggantinya dengan sesuatu yang lebih. Ikhlaskan saja, Bu,” balas Bapak.

Ceramah singkat Bapak membuat kata-kata Ibu labas. Yang tersisa hanya suara desah napasnya. Menghempaskan udara dalam-dalam. Sebenarnya, itu tanda kalau hati Ibu mengkal. Tetapi, ia tak ingin naik garam. Yang ia cemaskan jantung Bapak, kalau-kalau seketika ia menyalakan api dengan ucapannya.

Bagi Ibu, sekalipun tak seberapa harganya, tetapi sesuatu yang raib dari rumah itu punya nilai. Tetapi, kehilangan telah merampas nilai itu.

“Sudah menjadi tugas seorang perempuan, menjaga segala sesuatu agar tak hilang. Karena hilang itu berarti kau telah melenyapkan nilai-nilai. Kehilangan sama artinya kau telah menghilangkan kepercayaan. Rendahlah kehormatanmu di kemudian hari,” nasihat Ibu pada suatu sore, di tahun-tahun lampau. Ketika pikiranku belum dipenuhi sampah pikiran.

Aku mengangguk saja. Meski ada pertanyaan yang ingin kuasongkan. Kulihat Ibu tumpukan cucian itu masih meninggi. Sedang tangannya, sibuk melipat pakaian. Sejurus kemudian, Ibu mengangkat dan menunjukkan sepotong baju padaku.

“Sepertinya sudah nggak muat. Masih mau dipakai?” tanya Ibu.

Aku menggeleng pelan.

Ibu menyorongkan baju lamaku itu, sembari berkata, “Kalau begitu, berikan pada adikmu. Ya?”

Tanganku menyambut.

“Memberi sesuatu yang berguna itu bagus. Seperti bajumu ini. Kau berikan pada adikmu, itu pasti akan ia pakai. Kenapa? Karena adikmu tahu, ini baju kakaknya. Ia akan bangga memakai sesuatu yang diberi kakaknya. Ia bangga juga karena apa yang kau berikan itu pernah menjadi barang kesayangan kakaknya,” ucapnya sambil tersenyum.

Di luar hujan. Suara teriakan anak-anak menyusup masuk lewat jendela dan pintu-pintu. Mereka bergelak tawa. Menyambut hujan dengan nyanyian.

Udana sing gedhe tak opahi sega gule, nek kurang njupuk dhewe. Udana sing gedhe tak opahi sega gule, nek kurang njupuk dhewe,” begitu berulang-ulang sampai baju mereka basah. Badan mereka basah. Tetapi, basah itu tak sampai membuat lantai rumah becek, apalagi tergenang. Itu dulu. 

Puluhan tahun silam. Jauh sebelum jalan desa ditinggikan. Sebelum jalan-jalan kampung ikut meninggi. Dan jauh sebelum berita koran menulis, tanah di desa kami menurun puluhan senti setiap tahun. Juga sebelum orang-orang kampung rajin menabung untuk membeli tanah, meninggikan lantai rumah.

Kini, setiap hujan tiba, bukan saja air yang hinggap di lantai. Kecemasan juga menghantui. Kami selalu khawatir kalau-kalau seisi rumah dipenuhi air. Bahkan, air sekarang bisa datang tanpa hujan. Tiba-tiba saja menyembul dari bawah lantai rumah. Tak lama kemudian, seisi kampung dikepung air. Semua orang mengungsi.

Ah rasanya mengungsi sudah menjadi tradisi. Bolak-balik kami mengungsi. Tak hanya sekali dalam setahun. Bisa dua sampai tiga kali. Sudah bertahun-tahun begitu.

Bosan? Pasti! Aku, adik-adikku, Ibu, dan Bapak sebenarnya sudah tak ingin bolak-balik mengungsi. Sampai suatu malam, kami berembug untuk membeli rumah baru. Pindah dari kampung sejauh mungkin. Ke desa yang lebih tinggi tanahnya. Tetapi Ibu keberatan.

“Meninggalkan kenangan itu berat. Apalagi kenangan itu meninggalkan warisan. Kakek buyut pernah berpesan, rumah ini jangan sampai ditelantarkan. Jangan ditinggalkan. Sebab, sudah tak terhitung lagi duka lara yang disimpan di rumah ini, hingga akhirnya melahirkan sejarah,” kata Ibu.

“Keadaan sudah berubah. Kita juga mesti berubah, Bu. Manusia tak mungkin melawan kodrat alam. Tak bisa mengelak dari kehendak Gusti Allah,” sambut Bapak.

Selalu begitu kilah Bapak. Tetapi, tak sesiapapun menyangkalnya. Juga aku. Meski sebenarnya ingin kukatakan, ‘Gusti Allah itu tak mungkin menghendaki hamba-hamba-Nya celaka. Kecuali, karena ia durhaka’. Tetapi, kata-kata itu kusimpan saja. Kubiarkan menjadi catatan kecil dalam benak. Siapa tahu, aku termasuk yang durhaka. Sebab, aku hampir-hampir kehilangan kepercayaan pada orang-orang yang mestinya dipercaya.

Aku masih meringkuk di atas almari kayu tua. Tempat dulu kakek dari kakekku menghembuskan napas terakhirnya. Ditembus peluru tentara Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun