Mohon tunggu...
Ribut Achwandi
Ribut Achwandi Mohon Tunggu... Penulis - Penyiar radio dan TV, Pendiri Yayasan Omah Sinau Sogan, Penulis dan Editor lepas

Penyuka hal-hal baru yang seru biar ada kesempatan untuk selalu belajar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Yang Hilang Tak Kembali

15 September 2021   04:30 Diperbarui: 15 September 2021   04:37 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah menjadi tugas seorang perempuan, menjaga segala sesuatu agar tak hilang. Karena hilang itu berarti kau telah melenyapkan nilai-nilai. Kehilangan sama artinya kau telah menghilangkan kepercayaan. Rendahlah kehormatanmu di kemudian hari,” nasihat Ibu pada suatu sore, di tahun-tahun lampau. Ketika pikiranku belum dipenuhi sampah pikiran.

Aku mengangguk saja. Meski ada pertanyaan yang ingin kuasongkan. Kulihat Ibu tumpukan cucian itu masih meninggi. Sedang tangannya, sibuk melipat pakaian. Sejurus kemudian, Ibu mengangkat dan menunjukkan sepotong baju padaku.

“Sepertinya sudah nggak muat. Masih mau dipakai?” tanya Ibu.

Aku menggeleng pelan.

Ibu menyorongkan baju lamaku itu, sembari berkata, “Kalau begitu, berikan pada adikmu. Ya?”

Tanganku menyambut.

“Memberi sesuatu yang berguna itu bagus. Seperti bajumu ini. Kau berikan pada adikmu, itu pasti akan ia pakai. Kenapa? Karena adikmu tahu, ini baju kakaknya. Ia akan bangga memakai sesuatu yang diberi kakaknya. Ia bangga juga karena apa yang kau berikan itu pernah menjadi barang kesayangan kakaknya,” ucapnya sambil tersenyum.

Di luar hujan. Suara teriakan anak-anak menyusup masuk lewat jendela dan pintu-pintu. Mereka bergelak tawa. Menyambut hujan dengan nyanyian.

Udana sing gedhe tak opahi sega gule, nek kurang njupuk dhewe. Udana sing gedhe tak opahi sega gule, nek kurang njupuk dhewe,” begitu berulang-ulang sampai baju mereka basah. Badan mereka basah. Tetapi, basah itu tak sampai membuat lantai rumah becek, apalagi tergenang. Itu dulu. 

Puluhan tahun silam. Jauh sebelum jalan desa ditinggikan. Sebelum jalan-jalan kampung ikut meninggi. Dan jauh sebelum berita koran menulis, tanah di desa kami menurun puluhan senti setiap tahun. Juga sebelum orang-orang kampung rajin menabung untuk membeli tanah, meninggikan lantai rumah.

Kini, setiap hujan tiba, bukan saja air yang hinggap di lantai. Kecemasan juga menghantui. Kami selalu khawatir kalau-kalau seisi rumah dipenuhi air. Bahkan, air sekarang bisa datang tanpa hujan. Tiba-tiba saja menyembul dari bawah lantai rumah. Tak lama kemudian, seisi kampung dikepung air. Semua orang mengungsi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun