Ah rasanya mengungsi sudah menjadi tradisi. Bolak-balik kami mengungsi. Tak hanya sekali dalam setahun. Bisa dua sampai tiga kali. Sudah bertahun-tahun begitu.
Bosan? Pasti! Aku, adik-adikku, Ibu, dan Bapak sebenarnya sudah tak ingin bolak-balik mengungsi. Sampai suatu malam, kami berembug untuk membeli rumah baru. Pindah dari kampung sejauh mungkin. Ke desa yang lebih tinggi tanahnya. Tetapi Ibu keberatan.
“Meninggalkan kenangan itu berat. Apalagi kenangan itu meninggalkan warisan. Kakek buyut pernah berpesan, rumah ini jangan sampai ditelantarkan. Jangan ditinggalkan. Sebab, sudah tak terhitung lagi duka lara yang disimpan di rumah ini, hingga akhirnya melahirkan sejarah,” kata Ibu.
“Keadaan sudah berubah. Kita juga mesti berubah, Bu. Manusia tak mungkin melawan kodrat alam. Tak bisa mengelak dari kehendak Gusti Allah,” sambut Bapak.
Selalu begitu kilah Bapak. Tetapi, tak sesiapapun menyangkalnya. Juga aku. Meski sebenarnya ingin kukatakan, ‘Gusti Allah itu tak mungkin menghendaki hamba-hamba-Nya celaka. Kecuali, karena ia durhaka’. Tetapi, kata-kata itu kusimpan saja. Kubiarkan menjadi catatan kecil dalam benak. Siapa tahu, aku termasuk yang durhaka. Sebab, aku hampir-hampir kehilangan kepercayaan pada orang-orang yang mestinya dipercaya.
Aku masih meringkuk di atas almari kayu tua. Tempat dulu kakek dari kakekku menghembuskan napas terakhirnya. Ditembus peluru tentara Belanda.