Mohon tunggu...
YUSRIANA SIREGAR PAHU
YUSRIANA SIREGAR PAHU Mohon Tunggu... GURU BAHASA INDONESIA DI MTSN KOTA PADANG PANJANG

Nama : Yusriana, S.Pd, Lahir: Sontang Lama, Pasaman. pada Minggu, 25 Mei 1975, beragama Islam. S1-FKIP UMSB. Hobi: Menulis, membaca, menyanyi, baca puisi, dan memasak.Kategori tulisan paling disukai artikel edukasi, cerpen, puisi, dan Topik Pilihan Kompasiana.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sekolah yang Hilang: Saat Pendidikan Melupakan Karakter

29 Maret 2025   11:42 Diperbarui: 29 Maret 2025   11:42 130
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mereka butuh bimbingan guru teladan, mengajar dengan Bahasa Cinta: Foto Dokpri Yusriana

Sekolah yang Hilang: Saat Pendidikan Melupakan Karakter

Dunia pendidikan kita terus berusaha untuk berbenah. Kurikulum pun berganti, teknologi juga ikut masuk ke kelas, dan siswa semakin akrab dengan layar. Namun, di tengah semua perubahan ini, ada satu hal yang justru semakin kabur: pendidikan karakter.

Adapun pendidikan karakter adalah upaya mendidik seseorang agar memiliki nilai-nilai moral dan etika yang baik dalam kehidupannya. Pendidikan ini tidak hanya berfokus pada kecerdasan intelektual, tetapi juga membentuk kepribadian, sikap, dan perilaku siswa yang sesuai dengan norma sosial, budaya, dan agama.

Pendidikan karakter bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai, kejujuran -- bersikap jujur dalam perkataan dan perbuatan. Tanggung jawab -- Bertanggung jawab atas tindakan dan keputusan yang diambil. Disiplin -- Mampu mengatur diri dan menaati aturan. Rasa hormat -- Menghargai orang lain, termasuk guru, orang tua, dan teman. Kerja keras -- Tidak mudah menyerah dan selalu berusaha maksimal. Empati dan kepedulian -- Peka terhadap perasaan dan kebutuhan orang lain. Kemandirian -- Tidak selalu bergantung kepada orang lain.

Pendidikan karakter bisa diterapkan dalam lingkungan sekolah, keluarga, dan masyarakat. Di sekolah, karakter dapat dibentuk melalui pembelajaran, keteladanan guru, budaya sekolah, dan kegiatan ekstrakurikuler. Sedangkan di rumah, orang tua berperan sebagai pendidik utama yang menanamkan nilai-nilai karakter sejak dini.

Saat ini, pendidikan karakter menjadi semakin penting karena tantangan zaman yang semakin kompleks. Dunia yang serba digital, individualisme yang meningkat, serta perubahan sosial yang cepat membuat karakter yang kuat menjadi bekal utama agar seseorang bisa bertahan dan berkontribusi positif dalam masyarakat.

Sekolah Dulu vs. Sekarang

Dulu, sekolah adalah tempat menanamkan nilai. Guru tidak hanya mengajarkan rumus, tetapi juga memberi teladan. Murid menghormati guru bukan karena takut, tapi karena segan dan menghargai ilmu. Kini, di banyak sekolah, siswa lebih takut pada angka rapor dibanding kehilangan rasa hormat pada gurunya.

Di era digital, informasi berlimpah, tetapi karakter semakin langka. Banyak siswa pandai berbicara, tetapi minim empati. Ada yang hafal teori kepemimpinan, tetapi tidak bisa antre. Ini bukan hanya masalah kurikulum, melainkan pola asuh dan lingkungan belajar yang berubah drastis.

Ketika Pendidikan Hanya Mengejar Angka
Sekolah kini lebih sibuk dengan angka: nilai, peringkat, ujian. Orang tua menuntut anaknya juara, tetapi lupa mengajarkan sopan santun. Sekolahpun berlomba mencetak lulusan pintar, tetapi kadang abai membentuk manusia yang bijak.

Pernah tahun 2021 lalu di salah satu SMA Negeri di Kota Padang Panjang, lebih dari 150 orang siswanya harus mengulang ujian semseter 1 mereka kembali. Saya tahu kasus ini kebetulan karena salah satu siswanya adik saya. Arman. 

Arman anak dari Tante saya. Adik mama saya. Ia tinggal di rumah saya. Siang itu sepulang sekolah, ia menemui saya. "Kak, mohon maaf Man, Kak. Man bikin malu Kak dan keluarga kita." Ratapnya.

Tiba-tiba darah saya berdesir. Saya amati Arman dari atas kepala hingga kaki. Tak ada yang aneh. Dahi saya pun berkerut sebagai pertanda heran.

"Kak disuruh Pak Fir ke sekolah. Kami seangkatan ketahuan menyontek, Kak."Ratapnya lagi.

Aku pun menelepon Pak Fir. Kebetulan, aku punya nomor HP beliau. Dari beliau, aku tahu bahwa lebih kurang 150 siswa kelas X menyontek, kerja sama, bahkan membobol chip soal dan kunci jawaban karena ujian saat itu dilakukan secara online.

Saat itu masih suasana pandemi corona. Termasuk di antara mereka, adikku Arman, ponakanku Adel. Bahkan, laptop Armanlah yang dipakai buat membobol soal dan kunci jawaban itu. Kepala sekolah sempat ngamuk, hingga bilang, "Kalau sekarang mereka cuma bobol chip soal, besok-besok bisa aja nekat ngerampok bank lagi!"

Apa artinya nilai 100 dalam matematika dan semua pelajaran seperti kejadian di atas jika anak mendapatkannya dengan curang seperti di atas?

Mereka idak tahu cara membedakan hak dan kewajiban? Apa gunanya dapat nilai sejarah pahlawan 100 jika tidak punya keberanian untuk jujur mendapatkan nilai?

Pendidikan karakter seharusnya bukan sekadar program tambahan, melainkan napas utama dalam pembelajaran seperti di atas. Pak Fir dan jajaran menindak dan mengantisipasi dengan cepat tindakan siswa tak berkarakter di atas.

Kembali ke Inti Pendidikan

Dalam dunia pendidikan, kecerdasan akademik bukan satu-satunya tujuan. Lebih dari itu, pembentukan karakter yang kuat dan moral yang baik juga menjadi hal yang utama. Sayangnya, di tengah perkembangan zaman yang semakin kompleks, esensi pendidikan sering kali bergeser. Guru makin sulit menerapkan pendidikan karakter kepada siswanya karena orangtua cendrung menyalahkan guru bila siswa disiplinkan di sekolah.

Berikut tiga kasus nyata di Indonesia yang menunjukkan bagaimana orang tua menyalahkan guru ketika anak mereka didisiplinkan, hingga berujung pada proses hukum:

Pertama, Guru Dipolisikan karena Mendisiplinkan Siswa

Seorang guru pada tahun 2022 dilaporkan ke polisi oleh orang tua siswanya karena mencubit seorang murid yang tidak mengerjakan tugas. Meskipun cubitan itu bertujuan untuk mendisiplinkan, orang tua murid tidak terima dan melaporkan sang guru atas dugaan kekerasan terhadap anak.

Kasus ini sempat menjadi perhatian nasional dan mendapat pembelaan dari berbagai pihak yang menilai bahwa tindakan guru tersebut masih dalam batas kewajaran.

"Kasus NS, seorang guru asal SD di kawasan Laweyan yang diadukan ke polisi mendapat perhatian anggota dewan. Anggota Komisi IV DPRD Kota Surakarta Asih Sunjoto mengakui, kasus guru nyubit siswa sebenarnya bisa diselesaikan lewat jalur kekeluargaan." Radar Solo, 22 November 2022.

Kedua, Guru di Bitung, Sulawesi Utara

Pada Mei 2023, seorang guru TK berinisial SK (28) dilaporkan ke polisi karena memukul siswanya yang berusia 5 tahun dengan mistar, mengakibatkan luka memar. Insiden ini terjadi setelah siswa tersebut menarik kursi hingga temannya terjatuh, yang memicu kemarahan guru tersebut. Detik.com

Ketiga, Guru SD di Gresik, Jawa Timur

Pada Oktober 2022, seorang guru berinisial RM dilaporkan oleh orang tua muridnya karena diduga menampar siswa sebanyak empat kali. Kejadian ini terungkap setelah orang tua siswa menerima informasi dari wali murid lain mengenai tindakan tersebut. Detik.com

Keempat, Guru Agama di Sumbawa Barat, Nusa Tenggara Barat

Seorang guru Pendidikan Agama Islam bernama Akbar Sarosa dilaporkan ke polisi dan dituntut membayar denda Rp50 juta setelah menghukum murid yang tidak mengikuti kegiatan salat berjamaah di sekolah. Tindakan hukuman tersebut berupa pemukulan ringan pada telapak tangan dan pundak siswa. merdeka.com

Keteladanan Guru dalam Membentuk Karakter 

Teman guru, merasa bahwa teguran tersebut bermaksud baik, sejumlah aksi solidaritas kemudian dilakukan oleh rekan guru guna mendukungnya dalam upaya mendapatkan keadilan.

Rekan mereka berpendapat bahwa tindakan Akbar yang menghukum murid yang bolos dari salat berjemaah bukan tindakan yang menyebabkan cidera berat atau cacat permanen pada murid tersebut.

Kasus-kasus itu mencerminkan kompleksitas dalam mendisiplinkan siswa di lingkungan pendidikan dan pentingnya komunikasi yang baik antara guru, siswa, dan orang tua untuk mencegah kesalahpahaman yang dapat berujung pada tindakan hukum.

Kasus-kasus di atas menunjukkan bagaimana upaya guru dalam menerapkan pendidikan karakter sering kali mendapat hambatan, terutama dari orang tua yang kurang memahami pentingnya disiplin dalam proses pembelajaran.

Satu sisi ada kekeliruan guru juga dalam pembentukan karakter di atas. Guru terkadang kehilangan rasa sabar dalam mendisiplinkan siswanya. Seperti murid TK dan SD di atas belumlah wajar mereka mendapat pendisiplinan secara fisik. Mereka butuh pelukan dan penjelasan dengan bahasa cinta.

Pendidikan karakter tidak bisa hanya lewat teori. Guru harus menjadi contoh nyata. Jika ingin siswa jujur, maka guru harus menunjukkan kejujuran. Jika ingin siswa disiplin, guru pun harus disiplin.

Begitu pula dalam menegakkan kedisiplinan di sekolah. Guru tidak perlu menggunakan hukuman fisik, terutama bagi siswa SMP, SMA, dan SMK. Tubuh mereka sudah besar, dan tindakan kekerasan justru berisiko memicu perlawanan kepada guru.

Cara yang lebih bijak adalah mencatat nama mereka dan memanggil mereka di ruangan khusus. Lakukan pendekatan secara khusus untuk pembinaan. Dalam perkuliahan Micro Teaching, pendekatan ini selalu ditekankan, mengingat bahwa pendidikan karakter seharusnya mengedepankan keteladanan dan komunikasi yang baik. Misalnya.

"Beberapa siswa sering cabut salat berjamaah. Alih-alih menegur di depan kelas, guru mencatat nama mereka dan memanggil mereka ke ruang BK. Kalau saya biasa di ruang shalat guru. Satu-satu diajak bicara.

Dalam pertemuan itu, guru mendengarkan alasan tiap siswa, seperti rasa malas atau kesibukan tugas. Lalu dikumpulkan semua setelah face to face. Dengan pendekatan persuasif, guru menjelaskan pentingnya salat berjamaah, menawarkan solusi, memberi bimbingan tentang shalat, "Sudah tahankah siksa api neraka?" Lalu membuka Quran bersama tentang surat Al Mudatsir sebagai alarm 1.

"Apa yang memasukkan kalian ke dalam (neraka) Saqar?"
"Kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang melaksanakan salat." (QS. Al-Muddatstsir: 42-43)

Di rumah sebagai alarm 2, coba Ananda hidupkan nanti sebatang lilin, api kompor, atau api kayu bakar. Letakkanlah tangan Ananda pada api itu. Tahanlah. Apakah kamu tahan panasnya? Pasti mereka akan serentak menjawab "Tidak!" Meski belum dicoba.

Setelah pembinaan ini, biasanya siswa mulai lebih disiplin karena merasa dihargai dan diarahkan dengan baik. Pendekatan ini sejalan dengan prinsip Micro Teaching, yang menekankan keteladanan dan komunikasi yang baik.

Pendidikan Keluarga yang Kuat

Perlu pula diingat, sekolah bukan satu-satunya tempat belajar karakter. Orang tua adalah guru pertama bagi anak-anak mereka. Jangan menyerahkan sepenuhnya tanggung jawab ini kepada sekolah, lalu marah ketika anak kehilangan etika. Pendidikan karakter harus dimulai di rumah, dengan teladan dan bimbingan yang konsisten dari orang tua.

Jika pendidikan keluarga kuat, sekolah hanya tinggal memperkuat nilai-nilai yang sudah tertanam. Orang tua pun harus ikut serta mendukung inovasi sekolah dan guru. Harus bermitra bukan saling curiga apalagi musuhan. Anak yang terlalu dibela orang tua tentu akan labil. Bingung ngikut orang tua atau guru di sekolah?

Artinya kolaborasi orang tua dengan guru dan pihak sekolah sangat menentukan keberhasilan murid nanti. Masih segar dalam ingatan ketika tahun 2000 hingga tahun 2017. Orang tua sangat mendukung pendisiplinan siswa hingga di kelas dari 14 siswa laki-laki hanya 1-3 siswa yang butuh pendisiplinan khusus. 10-11 siswa lainnya sangat smart. Cerdas.

Namun setelah tahun 2018 hingga sekarang, siswa selalu mengadu ke orang tua mereka jika mereka didisiplinkan. Masalah kecil saja misalnya, rambut panjang. Siswa tahun 2000-2017 menghargai guru saat mendisiplinkan rambut mereka yang dipotong acak lalu mereka rapikan sepulang sekolah di barbershop. 

Namun siswa 2018 - sekarang, Masalah kecil rambut panjang tidak menghargai guru saat guru mendisiplinkan rambut mereka yang dipotong acak. Esok hari mereka bukan  merapikan sepulang sekolah di barbershop, malah besoknya mereka datang ke sekolah untuk demo. 

Membangun Budaya Sekolah yang Bernilai

Untuk itu, sekolah harus menjadi tempat yang diberi otoritas pembentukan karakter, tidak hanya mengajarkan akademik, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kehidupan. Bila tidak, Sekolah yang Akan Hilang: Saat Pendidikan Melupakan Karakter siswanya. 

Membiasakan siswa untuk berbicara sopan, rapi, bekerja sama, berdamai dengan sanksi, dan bertanggung jawab jauh lebih penting daripada sekadar mengejar nilai 98-100. Guru, siswa, dan orang tua faham posisi. 

Kemudian dengan kolaborasi antara keluarga dan sekolah, pendidikan karakter bisa terbentuk secara lebih utuh dan berkesinambungan.

Akhir Kata

Jika sekolah hanya mencetak siswa yang cerdas tanpa karakter, maka kita sedang membangun generasi yang rapuh. Kemajuan sejati bukan hanya diukur dari kecerdasan otak, tetapi juga dari kebijaksanaan hati. Saatnya sekolah kembali ke fitrahnya dan semua pihak mendukungnya: membentuk manusia yang utuh, bukan sekadar angka di atas kertas.

(Yu)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun