Inilah wasiat Bang Mus berikut jelang perpisahan kami datang memutus pinjamanku atas suamiku.
Hari itu Selasa, 4 Maret 2025. Seperti biasa abang memakan obat sebelum makan sahur. Lalu abang makan obat lagi usai makan sahur. Tapi aku melihat kaki dan wajah abang seperti bengkak. Abang terlihat lebih gemuk.
"Sayang, kaki dan muka seperti bengkak deh. Coba bawa jalan-jalan ringan Bang!" Usulku di saat sudah shalat subuh.
Abang pun berjalan-jalan dari dapur ke ruang depan. "Lelah Ma Teguh," Â keluh beliau. Beliaupun duduk di kursi favoritnya.
Aku duduk menghampiri. "Ma Teguh, catat pin dan pasword ollin (mobile banking bank) kami (abang) ya." Lalu beliau menyebut sejumlah angka.
"Berapa tadi Bang?" Tanyaku lagi sambil membuka hp akan menulis angka tersebut. Namun abang cueks. Aku seperti diPHP saja. Aku pun tak menanggapi dengan serius. Sejak 2025 ini abang sering begitu. Aku memilih memijat bahu beliau sambil berucap dalam hati "Nur Allah, Nur Muhammad, Nur baginda rasulullah SAW, denai luak hancurkan darah nan baku berkat laa ilaha illalloh muhammad rasulullah SAW.Â
Berulang-ulang aku melafalkan doa itu terus menerus. Hingga abang terpejam. Di sudut mata beliau mengalir air mata. Akupun turut menangis melihat ini. 'Sudah selesaikah hamba meminjam suami hamba ya, Rabb? Mengapa seolah tak adil? Ayah abang meninggal umur 75 tahun. Abang baru 56 Rabb.' Protesku dalam hati.
Biarlah sakit seperti ini Rabb. Asal masih hidup. Bisa aku pegang, aku peluk, dan aku goda lewat kata-kata. Pinjamkan Rabb. Pinjamkanlah. Kasihani hambaMu yang dhoif ini Rabb.'
Tiba-tiba abang terbangun. "Ma Teguh, umur Tulang (Ayahku/mertua abang), 53 tahun meninggal. Ma Teguh sudah dapat bonus 3 tahun lebih." Jelas abang santai.