Kesehatan Mental di Tempat Kerja: Tantangan dan Cara Mengatasinya
Setiap tanggal 10 Oktober lalu, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental sedunia. Untuk tahun 2024 ini, tema yang diusung oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) "Mental Health at Work"
Tema ini menyoroti pentingnya menjaga kesehatan mental di tempat kerja. Tak bisa dipungkiri bahwa berbagai tantangan di tempat kerja dapat memengaruhi kesehatan mental kita.
Mulai dari beban pekerjaan yang tinggi, tekanan dari atasan, hingga suasana kerja yang kurang kondusif. Apalagi seperti saya guru, tekanan juga datang dari siswa yang cueks, meribut di masjid saat sholat, berpacaran, merokok/ngevape/pod, memeras, mencuri, bahkan tak membuat tugas, juga dari orangtua siswa.
Bila karakter siswa baik maka pembelajaran bakalan lancar. Tetapi bila karakter siswa tak baik-baik saja maka pembelajaran tak bisa berjalan sesuai perencanaan kita guru. Inilah posisi guru saat ini bahwa karakter siswa bisa dibilang dalam tanda baca kutip "kurang"
Dulu siswa anteng saja duduk di kelas menunggu guru mereka masuk. Dari 40 orang satu kelas, hanya 2-3 siswa yang hiperaktif. Inklusif dan butuh perhatian khusus. Namun, di kondisi Gen Z saat ini, perilaku siswa mirip anak Taman Kanak-Kanak tapi hasrat 18th+.
Benar. Mereka berlari di kelas, menyanyi, dan sahut-sahutan memanggil nama teman dengan nama ayahnya. Ini terkhusus siswa putra.
"Yul, pinjam pena!" Lantang Anan. (Yul di sini bukan nama siswa tetapi ayah dari siswa bernama Afha).
"Tak ada pena, Adi!" Jawab Afha dengan suara tak kalah lantang. ( Adi bukan nama temannya tapi nama Ayah Anan teman Afha).
Sayapun kaget mendengar ini pertama kalinya karena saya hafal nama mereka. Jelas yang bicara pertama Afha dan yang bicara kedua Anan. Saya pun mengerutkan kening.Â
"Namo ayah, saya, Buk." Jelas Anan.
"Dia duluan, Buk yang sebut nama ayah saya! Teriak Afha pula.
Sayapun cuma bisa geleng-geleng kepala. Dalam hati saya berujar, 'Nanti mereka berdua akan saya panggil secara khusus." Eh ternyata siswa lainpun latah sahut-sahutan meniru perilaku mereka. Teman putra mereka yang lainpun ikutan latah mengabsen nama ayah temannya bahkan merembet ke nama ibunya.
Jadilah satu jam pelajaran menasihati mereka. Sayangnya, dalam proses menasihati ini, satu persatu mereka izin keluar dan ikutan pula siswi putri satu-satu keluar. Saya pun terdiam. Saya amati terus pergantian perilaku mereka. Berjalan, menyanyi, memasang kipas, menemui teman di bangku lain, keluar masuk kelas hingga yang rebahan di atas mejanya.
Sayapun terus diam, tak lanjut lagi bicara. Saya teringat peristiwa di Sumatera Utara. Guru menyuruh anak skot jam 100 kali dan berakhir siswa demam dan meninggal dunia.
"Siswa SMP di Deli Serdang, Rindu Syahputra Sinaga (14), diduga meninggal dunia setelah dihukum squat jump 100 kali oleh gurunya. Wakil Ketua KPAI Jasra Putra mengatakan peristiwa ini sangat memilukan." Sumber DetikNews.com. Selasa(1/10/2024)
Demikian juga peristiwa di tempat lain ada-ada saja siswa yang memancing guru untuk memberi hukuman dan berakhir dengan maut. Naudzu billah min dzalik.Â
Terbayang lagi ada sosialisasi dinas terkait ke sekolah sekitar tahun 2018-an. Beliau menyampaikan bahwa guru boleh memberikan sanksi fisik, seperti push-up, dan lari, namun jangan berlebihan. Tapi kasus saya di kelas saat ini bukan 1 atau 2 anak. Melainkan belasan anak. Gak logis juga kasih hukuman.
Akhirnya, saya putuskan menonton aksi mereka saja. Tak terpikir memvideokan karena saya memang tak terlalu hobi dokumentasi. Sayapun lanjut terus menonton mereka. Masih seperti tadi. Berjalan, berlari-lari, keluar masuk kelas, main pesawat kertas, dan ada pula lanjut gelar tikar di sudut literasi.
Mereka berkeringat. Saya pandangi 4 dari 13 siswa putra yang diam saja. Mereka berempat beku. Diam menatap saya. Nampak mata mereka pasrah tapi tak rela. Juga beberapa anak putri yang diam beku.
Sayapun kasihan. Saya hidupkan laptop. Saya tampilkan cek ibadah di monitor kelas.
Tulislah cek ibadah ini pada kertas satu lembar dan isi titik-titik dengan jujur! Ingat, Allah SWT Maha Melihat dan Maha Mengetahui. Percuma Ananda menulis yang tak jujur.
1. Saya tadi malam tahajjud ... rakaat.
2. Sesudah Tahajjud, saya witir... rakaat.
3. Saya sunnah rawatib ... rakaat sebelum subuh.
4. Saya menghafal Al Quran 1 ayat tadi pagi/tadi malam Surat Al Baqoroh Ayat ...
5. Saya dhuha... rakaat hari ini.
6. Saya bersedekah Rp.... hari ini.
Yang siap antar ke depan kertasnya!
Begitu isi tulisan di layar monitor. Saya sengaja menyiapkan ini untuk di kelas ini berdasar kebiasaan yang saya temui bila masuk di kelas ini. Sebetulnya saya ingin ini didiktekan sambil bercerita tentang guna-guna ibadah di atas.
Namun sayang sekali. Sepertinya mereka tak berminat. Lebih atensi mereka melihat ke layar daripada mendengarkan suara saya. Di antara mereka pun bergegas menulis. Terlihat pula yang ribut dan tak teratur tadi ikut menulis sambil melap keringat di dahi dan leher mereka.
Tinggal yang rebahan dan tertidur tak mengerjakan. Saya biarkan saja. Saya takut mereka seperti bayi. Bila tidur mereka tak puas, ngamuk-ngamuk. Ngeri dong jadi amukan mereka.
Inilah kondisi salah satu kelas yang saya hadapi saat ini. Tak ada lagi hormat siswa kepada guru seperti harapan kita. Bila ingin mereka bekerja dan tertib, kita guru musti mencari kiat dan akal mengalihkan sikap anak TK mereka itu.
Bila semua itu kita hadapi dengan emosi, mental kita guru yang rusak. Bahkan bisa merugikan diri kita sendiri seperti guru di Deli Serdang itu. Merugikan anak murid kita pula seperti korban meninggal di sana.
Logika kita menjadi guru saat ini musti ligat menyiasati perilaku mereka. Ingat ketika kita belajar mikro teaching di ruang perkuliahan. Siapkan anak dengan guru diam. Diam melihat tingkah laku mereka dulu. Diam agar mereka instrospeksi diri lalu ikut diam menatap kita.
Dulu memang ketika guru masuk kelas, mereka serentak diam. Berhenti bicara bila sedang bicara. Berhenti menengok ke belakang bila sedang tertoleh. Tapi hari ini Gen Z beda. Mereka tak semua di kelas saat guru tiba. Mereka di kantin, di lapangan bola, di masjid, bahkan nongkrong di toilet sekolah.
Ketika guru akan masuk kelas, sebagian mulai berlari. Ketika guru sudah di kelas, satu persatu mulai lengkap. Sungguh butuh kesabaran ekstra bagi kita guru menemui mereka. Mental guru harus terus dicas dengan ishtighfar dan zikir sebagai pendekatan agama.
Bila telat ngecas bisa kilaf. Bisa sakit. Bisa demam dan stroke. Ikut teriak-teriak karena marah. Sekarang tak bisa begitu bila tak ingin rugi. Bahkan salah satu rekan kerja saya memakai mic telinga wireless saat mengajar agar bisa mengimbangi suara mereka.
Begitu rapuh karakter Gen Z yang dihadapi guru saat ini. Wajar sih mereka begini. Tak punya perasaan, hati, dan empati. Mereka generasi Covid-19. Mereka berguru pada android, notebook, dan PC. Bukankah alat teknologi ini tak bisa bicara? Teknologi ini tak bisa memberi pelajaran karakter pada mereka?
Teknologi itupun tak pernah meminta dihargai. Tak minta diperhatikan. Bahkan tak berperasaan. Kini kita gurupun hanya bisa berpura-pura menjadi android, notebook, atau PC bagi mereka. Jangan ngebet dulu penghargaan. Tapi tarik dulu atensi mereka.
Nah untuk situasi itu butuh kesehatan mental yang berlapis-lapis bernama sabar. Bila tidak-kejadian-kejadian seperti di Deli Serdang akan berulang lagi. Kita guru yang akan merugi.
Kita benar-benar harus menyadari akan pentingnya kesehatan mental ini di lingkungan kerja atau kelas saat ini. Selama ini sering kali kita menyepelekan tanda-tanda awal gangguan mental berupa rasa marah.
Marah tak tersalurkan menimbulkan akibat seperti stres yang berkelanjutan. Bisa pusing, mag, migrine, dan sebagainya.
Dalam artikel ini, kita akan melihat lebih dalam tentang pentingnya menjaga kesehatan mental di tempat kerja dan kelas, penyebab utama stres di lingkungan kerja dan kelas, dan cara-cara efektif kita untuk mengatasinya.
Mudahan bermanfaat ya!
Stres sebagai Gejala Awal Gangguan Kesehatan Mental
Stres akibat rasa kesal dan marah adalah respons alami tubuh terhadap tekanan yang datang dari luar. Di tempat kerja dan kelas, stres bisa muncul akibat target yang terlalu tinggi yang kita pasang. Sementara siswa tak memberi respon baik. Dua sisi ini menimbulkan stres bagi guru. Hindari target yang terlalu tinggi.
Begitu juga tanggung jawab yang besar dalam diri memicu kita untuk stres, ditambahkan pula konflik dengan rekan kerja, dengan atasan, dan orangtua siswa. Perasaan bertanggung jawab ingin menjaga nama baik sekolah membuat guru terkadang lupa diri untuk menjaga nama baik diri sendiri sehingga memicu terjadinya kasus kekerasan di sekolah.
Seperti kejadian di Deli Serdang. Guru ingin siswanya memiliki hafalan yang banyak. Iapun mendisiplinkan siswa yang tidak patuh itu. Akhirnya guru rugi dan muridpun rugi. Hindari merasa dan memikul tanggung jawab terlalu besar karena respon anak tak sesuai harapan.
Saya juga pernah menskor anak yang ketahuan pacaran, berboncengan motor, dan berpelukan mesra layak suami istri di atas motor dahulu. Sekitar tahun 2015-an. Orangtua siswa tersebut protes dan melaporkan saya kepada atasan. Saya pun diadili oleh atasan.
Untung saya punya bukti-bukti saat siswa siswi itu berboncengan mesra. Sayapun menemui siswa dan orangtuanya di rumahnya. Sayapun menceritakan semua kronologi kejadian. Hari, tanggal, jam, dan tujuan mereka naik motor. Saya beberkan semua.
Di depan saya si Ibu menanyai anaknya. "Betul yang dibilang, Ibu Gurumu?"
Ternyata si Ibu mengetahui semua itu. Konon ketika berangkat dari rumah, adik siswi yang masih TK ditaruh di tengah siswa dan siswi ini. Namun, di jalan posisi duduk si adik ditukar ke depan. Merrkapun berboncengan seperti suami istri. Sial. Teman mereka memergoki.
Si anak pun menangis sesenggukan. Apalagi ketika adik TK-nya ikut bersaksi bahwa ia selalu pindah tempat ke depan.
Orangtua sering menjadi korban kebohongan anak-anak sehingga orangtua lebih membela anak mereka. Mereka pun selalu mencurigai guru mengada-ada.
Demikian juga kasus sesudah itu. Seorang siswi pulang pergi dibonceng pacarnya untuk latihan ekstrakurikuler ke sekolah. Mereka pun ganti-ganti memakai jaket jeans yang sama di sekolah dan tempat les. Kebersamaan mereka diposting di medsos.
Ketika kasus ini tren topik, saya pun guru didatangi orangtua. Kasus tersebut sudah ditangani pihak berwewenang tentu secara rahasia. Namun, karena ditangani secara rahasia, teman-teman dan guru lain baru tahu akan kasus tersebut.
Hal inilah yang memicu anak dan orangtua tak terima bahwa teman-temannya tetap membicarakan kasus ini sebagai tren topik mereka. Sedangkan puhak sekolah tak pernah memberitahu kasus ini kepada warga sekolah. Orangtuapun mendatangi sekolah.
Lagi-lagi orangtua menyalahkan guru. Tak terima kasus anaknya dibicarakan oleh teman-temannya. Padahal inilah sanksi sosial. Setiap perbuatan yang akan menimbulkan dampak positif dan negatif. Di luar kuasa guru bila kasus tersebut menjadi tren topik lagi.
Itu hanya sekelumit pemicu stres di tempat kerja guru. Tiap hari masalah siswa datang silih berganti dengan pelaku berbeda. Demikian pula setiap orang pernah mengalami stres ini. Stres dengan tingkat dan dampak berbeda-beda tentunya.
Sebagian besar kita merasa bahwa stres hal yang wajar. Padahal, jika stres tersebut dibiarkan terus-menerus tanpa ada penanganan, bisa berkembang menjadi masalah kesehatan mental yang lebih serius. Berupa burnout atau depresi.
WHO bahkan telah mengklasifikasikan burnout sebagai sindrom akibat stres kerja kronis yang tidak tertangani dengan baik. Burnout dapat menurunkan produktivitas dan kinerja kita guru.
Bahkan bisa menyebabkan seorang pekerja tidak lagi mampu menjalankan tugasnya secara efektif. Mager alias malas gerak. Bila mager mendera seseorang maka ia akan enggan atau tidak bersemangat untuk melakukan aktivitas.
Misalnya, guru menolak ajakan melakukan aktivitas ke masjid. Menegur siswa buang sampah sembarangan. Membiarkan siswa cabut. Mager terjadi karena kurang semangat atau tidak tertarik lagi mengurusi masalah. Â
Penyebab Stres di Tempat Kerja
Ada banyak faktor yang menyebabkan stres di tempat kerja terutama di sekolah, di antaranya:
1. Beban Pekerjaan yang Berlebihan
Ketika tugas-tugas di sekolah menumpuk tanpa henti, guru selaku pekerja sering kali merasa kewalahan. Ketidakmampuan untuk menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dapat menyebabkan tekanan mental.
Apalagi kondisi siswa saat ini dalam darurat karakter. Mereka lesu di kelas karena malam hari tak tidur dengan cukup di rumah. Mereka bebas membawa android oleh orangtua ke sekolah. Mereka berupaya untuk izin memakai android tersebut.
Mereka pun sudah merokok dan ketagihan. Akibatnya ketika guru ingin memberikan pelajaran mereka loyo. Berusaha cabut dari kelas. Bila tak diijinkan keluar, mereka pun rebah dan tidur.
Tugas di kelaspun tak selesai. Ini menjadi salah satu beban pekerjaan yang berlebihan bagi guru selaku pekerja. Perbaikan karakter siswa ini perlu kerja sama orangtua. Atasan selaku pihak berwewenang sudah seharusnya merekomendasikan siswa untuk terapi kepada orangtua mereka. Terutama siswa yang ketagihan merokok dan bermain game di HP.
2. Lingkungan Kerja yang Tidak NyamanÂ
Kondisi lingkungan kerja, seperti ruang kerja yang sempit, suasana kantor yang terlalu bising karena berdekatan dengan kelas siswa, atau atasan dan rekan kerja yang toxic, dapat membuat guru merasa tak nyaman.
Ketika guru sampai di ruang guru. Mereka selaku pekerja, ingin berdiskusi dengan wali kelas tentang perkembangan siswanya di kelas. Namun tak bisa berdiskusi karena ruang guru berdekatan dengan ruang kelas siswa. Apalagi ruangan dilengkapi CCTV yang berfungsi untuk merekam pembicaraan guru.
Demikian juga ketika ada orangtua siswa yang mengadu kepada atasan. Atasan langsung membela orangtua siswa. Guru pun terpojok tanpa tempat mengadu dikeroyok atasan dan orangtua siswa. Sejatinya atasan cukup berjanji bahwa ia akan menegur bawahannya.
3. Konflik dengan Rekan Kerja atau AtasanÂ
Komunikasi yang buruk dan kurangnya dukungan dari rekan kerja atau atasan dapat memicu perasaan tidak dihargai, terisolasi, atau bahkan di-bully.
Ketika atasan memata-matai bahawan dapat berdampak kepada tekanan mental. Ketika guru berdiskusi dengan rekan kerja, lalu pembicaraan di sana diadukan kepada atasan merupakan lingkungan kerja toxic. Demikian juga ketika satu siswa melakukan pelanggaran, atasan dan guru bimbingan konseling merahasiakan ini kepada guru.
Ketika kasus di pihak atasan selesai, di pihak guru dan warga sekolah, baik siswa ternyata kasus belum selesai. Misalnya. Si A melakukan tindak kekerasan di sekolah. Si A meninju temannya hingga berdarah. Nyata di peraturan sekolah si A harus keluar karena tindak kekerasan poin 100. Poin 100 harus pindah sekolah.
Tapi pada kenyataannya si A tak diberi sanksi. Tetap sekolah. Lalu si B melakukan tindakan melanggar pula. Merokok di sekolah. Menjual rokok di sekolah. Mencas vape di kelas. Poin ini sama juga 100. Namun, atasan juga tak memberi sanksi. Tak melibatkan guru dan siswa lain.Â
Maka berkembanglah perilaku pelanggaran ini. Perilaku siswa dan atasan tentu menimbulkan tiga penyebab stres dan kasus mental kepada guru. Beban kerja bertambah, ruang kerja tak kondusif, guru, rekan kerja, dan atasan berkonflik.
Tanda-tanda Stres di Tempat Kerja
Beberapa tanda berikut bisa menjadi indikasi stres di tempat kerja:
Terjadi Penurunan Produktivitas KerjaÂ
Guru yang biasanya produktif dan penuh inisiatif tiba-tiba menjadi lesu, kehilangan semangat, dan bersikap membiarkan. Misalnya, siswa dibiarkan tidur di dalam kelas, siswa dibiarkan berkeliaran, siswa bermadalah tak ditangani.
Terjadi Perubahan Suasana Hati
Mereka yang terkena stres cenderung menjadi lebih sensitif, mudah cemas, atau bahkan cepat marah tanpa alasan yang jelas. Ketika guru membiarkan siswa dan mudah marah kepada siswa berarti guru sedang mengalami perubahan suasana hati.
Menarik Diri dari Lingkungan
Ada keinginan untuk menjauh dari orang-orang di sekitar dan lebih memilih menyendiri agar merasa lebih tenang. Ketika guru berperilaku seperti ini, ada gejala guru selaku pekerja sedang jenuh. Jenuh menghadapi atasan dan siswa yang tak tertangani secara tepat.
Perubahan Perilaku
Pekerja yang mengalami stres bisa saja berubah menjadi lebih mudah tersinggung, hilang kesabaran, dan kehilangan minat pada hal-hal yang dulu disukai. Ia pun datang ke sekolah untuk sekedar mengajar dan mengisi absen saja
Masalah Kesehatan Fisik
Stres yang berkelanjutan juga bisa memicu gangguan fisik, seperti sakit kepala, sakit maag, dan tekanan darah tinggi. Kondisi ini disebabkan guru terlalu keras berpikir dengan masalah-masalah di atas.
Saya Mengatasi Stres di Tempat Kerja dengan Pendekatan Agama dan Menulis di Kompasiana
Berita baik! Stres di tempat kerja bisa diatasi dengan beberapa langkah yang tepat. Terutama dengan pendekatan agama dan menulis di platform Kompasiana ini.
Berikut adalah cara-cara yang bisa dilakukan:
1. Kenali Batas Kemampuan Kita dengan Pendekatan Agama
Setiap orang memiliki batas kemampuan dalam menyelesaikan pekerjaan. Masalah di sekolah takkan selesai oleh kita seorang. Dengan mengenali batas tersebut, guru bisa mengelola waktu dan energinya dengan lebih baik sehingga tidak terjebak dalam kelelahan fisik maupun mental.
Tetaplah shalat dzuhur bersama siswa di sekolah dan di masjid. Yakinkan diri bahwa anak-anak baik-baik saja. Berdzikirlah dalam hati sambil mengingat yang indah-indah. Mudahan energi positif ini akan mempengaruhi siswa kita yang berada di masjid. Lafazhkan dalam hati subhanallah, walhamdulillah, allohu akbar, laa hau la wa la quwwata illah billah hil aliyyil adzim wa atubu ilaih.
Sayapun tak segan shalat istikharah. Memohon petunjuk kepada Allah apakah terbaik bagi murid-murid saya itu belajar di sekolah saya. Andai terbaik dilembutkan Allah hati mereka. Tetapi andai belum terbaik, diberi Allah mereka sekolah terbaik. Di manapun sekolah itu berada.
Selain itu kita pun bisa shalat dhuha, tahajjud, witir, puasa sunnah bareng bersama anak. Biarlah hanya 10 siswa dari 32 siswa saja yang mau bareng. In sya Allah seiring waktu mereka akan ikut semua bergabung. Berpikir Positif saja.
2. Berbagi dan Berdiskusi dengan Rekan Kerja lalu Menulislah di Kompasiana
Terkadang, membicarakan beban pekerjaan dengan rekan kerja bisa membantu mengurangi tekanan. Lingkungan kerja yang suportif akan menciptakan suasana yang lebih positif. Sampaikan keluhan di kelas kepada guru BK dan wali kelas mereka.
Dulu kita bisa mengatasi siswa di kelas sendirian. Namun sekarang, karakter siswa sudah berubah. Mereka tak lagi bisa kita kelonin. Mereka sudah ketagihan HP dan rokok. Mereka perlu penanganan serius dari orangtua mereka, semisal psikolog.
Setelah berdiskusi dengan mereka mulailah menuliskan keluh kesah kita di Kompasiana. Terkadang ketika kita merangkai kata-kata di platform ini, kita mendapat ketenangan, kepuasan batin, dan tempat mencurahkan isi hati kita tanpa ada yang protes. Malahan setelah menulis kita merasa lega dan muncul rasa ikhlas untuk menghadapi siswa, rekan kerja, dan atasan esok harinya.
Pilihlah kategori tulisan parenting. Tulis judul curhatan kita. Lalu mulailah merangkai kata. Berikan hak jari menulis dan merangkai kata-kata dalam pikiran kita, hati kita, jiwa kita, dan mineshet kita.
Bila sudah selesai simpan dulu tulisan kita. Tirulah orang Jepang. Mereka selalu mengambil keputusan setelah 24 jam. Tulisan kita juga butuh waktu untuk kita edit dan renungi selama 24 jam. Setelah 24 jam, baca lagi dan edit lagi.
Kemudian isi teaser. Tag. Lalu tayang.
Selamat menulis!
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI