Pendahuluan
Sejarah politik Indonesia tidak pernah bisa dilepaskan dari fenomena demonstrasi. Sejak awal kemerdekaan hingga hari ini, demonstrasi selalu hadir bukan sekadar sebagai ekspresi spontan rakyat yang menuntut perubahan, melainkan sebagai cermin dari krisis legitimasi kekuasaan. Dalam banyak momentum penting, demonstrasi memperlihatkan bagaimana hubungan antara massa, elite, dan negara berada dalam ketegangan yang menentukan arah perjalanan bangsa.
Di satu sisi, massa tampil sebagai aktor penting yang menyalurkan keresahan sosial-ekonomi maupun politik. Namun, sejarah juga menunjukkan bahwa massa kerap dijadikan instrumen mobilisasi elite, baik untuk memperkuat posisi politik tertentu maupun untuk melemahkan lawan. Di sinilah paradoks itu terletak: suara rakyat yang sejatinya autentik sering kali dibajak oleh kepentingan elite.
Negara, pada saat yang sama, selalu berada dalam posisi dilematis. Sebagai pemegang kekuasaan, ia dituntut menjaga stabilitas dan mempertahankan legitimasi. Namun, respon negara terhadap demonstrasi kerap menentukan apakah krisis mereda atau justru semakin membesar. Ketika negara memilih jalur represif, ia berisiko kehilangan legitimasi moral di hadapan rakyat; ketika negara terlalu permisif, ia membuka ruang bagi anarki yang dapat merusak tatanan politik.
Dimensi global turut memberi warna dalam setiap fase sejarah demonstrasi di Indonesia. Pada tahun 1965, misalnya, demonstrasi massa tidak bisa dipisahkan dari konteks Perang Dingin, ketika ideologi komunisme, nasionalisme, dan kapitalisme saling bertarung memperebutkan ruang politik dunia. Indonesia menjadi salah satu ajang perebutan pengaruh, dan massa di jalanan menjadi simbol sekaligus korban dari pertarungan ideologis tersebut.
Dua dekade kemudian, pada 1998, demonstrasi mahasiswa dan rakyat miskin kota terjadi dalam arus besar demokratisasi global pasca-Perang Dingin. Runtuhnya rezim otoriter di berbagai belahan dunia, dari Eropa Timur hingga Asia, ikut memberi resonansi kuat pada gerakan rakyat Indonesia. Krisis ekonomi yang menghantam Asia Tenggara mempercepat runtuhnya legitimasi Orde Baru, sementara tuntutan demokratisasi menemukan momentumnya melalui kekuatan massa.
Kini, pada 2025, demonstrasi kembali mewarnai panggung politik nasional. Namun konteks global sudah berbeda: dunia berada dalam pusaran ketidakpastian akibat rivalitas geopolitik baru, resesi ekonomi global yang membayangi, serta transformasi teknologi yang mengubah lanskap komunikasi politik. Indonesia berada dalam fase transisi politik pasca-Reformasi, di mana pemerintah yang baru terpilih dengan legitimasi kuat berusaha menata ulang tata kelola negara, termasuk agenda pemberantasan korupsi dan kebocoran anggaran. Di sisi lain, elite status quo yang terancam kehilangan privilese berupaya menunggangi keresahan sosial untuk melemahkan legitimasi pemerintahan.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: apakah demonstrasi dalam sejarah Indonesia selalu mencerminkan aspirasi rakyat yang murni menuju perubahan demokratis? Ataukah ia justru lebih sering menjadi arena pertarungan elite yang menunggangi kegelisahan masyarakat demi kepentingan politik jangka pendek?
1965: G30S dan Mobilisasi Massa dalam Pertarungan Ideologi
Demonstrasi pada tahun 1965 tidak bisa dilepaskan dari konteks pertarungan ideologi global yang kala itu membelah dunia ke dalam dua kutub: blok kapitalis yang dipimpin Amerika Serikat dan blok komunis yang dipimpin Uni Soviet serta RRT. Indonesia, sebagai negara baru yang tengah mencari jati diri politiknya, terjebak dalam tarik-menarik dua kekuatan besar tersebut. Presiden Soekarno dengan konsepsi Nasakom (nasionalisme, agama, komunisme) berusaha meramu sintesis politik, namun di lapangan, sintesis ini lebih sering melahirkan konflik terbuka daripada harmoni.
Dalam konteks ini, massa tidak hadir sebagai kekuatan otonom dengan agenda kolektif yang jelas. Sebaliknya, mereka dimobilisasi oleh elite politik untuk kepentingan ideologis. PKI dengan jutaan anggotanya mengorganisir demonstrasi, pawai, dan aksi massa untuk menekan lawan-lawan politiknya, khususnya kelompok agama dan militer. Di sisi lain, kelompok Islam juga memobilisasi pengikutnya melalui organisasi keagamaan untuk menandingi dominasi komunis. TNI, khususnya Angkatan Darat, memanfaatkan momen tertentu untuk menggalang dukungan rakyat, terutama pasca meletusnya peristiwa 30 September. Dengan demikian, massa lebih berfungsi sebagai "mesin legitimasi" daripada subjek politik yang bebas.
Demonstrasi pada masa itu pun sering kali bernuansa simbolik. Pawai raksasa, rapat akbar, hingga aksi turun ke jalan dipentaskan untuk menunjukkan kekuatan masing-masing kubu. Namun, substansi aspirasi rakyat yang sesungguhnya---misalnya terkait kesulitan ekonomi, kelangkaan pangan, dan inflasi yang mencapai ratusan persen---sering tersisihkan di balik retorika ideologis. Massa dihadapkan pada pilihan biner: ikut arus mobilisasi salah satu kubu atau terpinggirkan dalam hiruk-pikuk politik nasional.