Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 14, Nusa) - Pertemuan

26 Maret 2024   11:00 Diperbarui: 26 Maret 2024   11:03 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Banyak sekali tenda didirikan di sekitar pelabuhan, yang ternyata sebagian besarnya adalah milik Mataram-Parahiyangan. Mereka mendirikan tenda sendiri dan tidak menggunakan penginapan di kota atas. Hampir semua prajurit Mataram-Parahiyangan memenuhi pelabuhan Kota Bima, namun suasana tetap tertib dan segala sesuatunya berjalan normal. Soal makanan, para prajurit ini acap kali terlihat memancing dan mencari makanan laut seperti kepiting dan udang di dekat karang. Hanya untuk menambah persediaan makanan, selain yang telah mereka bawa sendiri sebelum berangkat dan yang mereka tangkap selama perjalanan di laut. Di beberapa grup tenda ada tempat memasak makanan bersama, sehingga menghemat tempat. Kebanyakan para prajurit mengisi waktu luang dengan latih tanding dan bersantai, menikmati suasana Bima yang sangat indah. Namun demikian perlu izin khusus untuk ke kota atas, apalagi ke wilayah Istana Atas Angin, nama istana kerajaan Nusa yang berada di atas bukit. Abdi, Dalem, beberapa pedagang, dan tiga orang prajurit Mataram bergabung ke salah satu grup tenda sebelah timur dekat karang. Terlihat beberapa kapal dagang yang berlabuh di sini, salah satunya tampak megah dan bercorak kekuningan, mengingatkan mereka akan sebuah kerajaan di utara Samudera.

            "Seperti bukan dari sekitar sini?" tanya Abdi menunjuk ke arah dua kapal yang berlabuh tepat di depan karang.

            "Dari Malaka dan Pattani, wilayah sebelah utaranya," ujar salah seorang pedagang, yang tampaknya hafal betul jenis dan bentuk kapal-kapal dagang, mungkin karena saking seringnya menjelajahi nusantara.

            "Aahh, yang Malaka pasti yang sebelah kiri ya," tanya Abdi lagi.

            "Iya, kabarnya mereka membebaskan wilayah Pattani dari negeri di utara. Kapal Malaka memang mudah dikenali karena corak melayunya sangat kuat. Seluruh layarnya berwana kuning, lambang yang digunakan sama dengan milik Kerajaan Samudera."

            "Waah, akhirnya lihat juga Kapal Malaka, Alhamdulillah. Sudah lama mendengar Malaka tapi belum pernah melihat langsung..." ujar Abdi.

            "Wah, pada ngobrol apa ini? Ayo sambil makan sate domba, ini khusus disediakan bagi para penumpang sekoci yang selamat, hehe," ucap salah seorang prajurit Parahiyangan yang bersama beberapa lainnya membawa lima bakul besar nasi beserta sate domba. Abdi yang melihat makanan disediakan di depannya menelan air liur, tiba-tiba ia teringat Dalem.

            "Oh, iya kalian lihat seseorang dari sekoci sembilan tidak? Yang paling gemuk ? ke mana sih tadi?"

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Ooh, yang duduk di belakang sendiri waktu kita menyelamatkan diri kan? Tadi aku lihat di mushola, tiduran sepertinya," jawab pedagang yang tadi.

            Abdi langsung izin bergegas ke mushola untuk membangunkan teman seperjalanannya. Mushola sendiri terletak dekat dengan kamar mandi. Sebenarnya Abdi tadi sholat berjamaah dengan Dalem, namun mereka tidak berjalan bersama untuk kembali ke tenda seusai sholat. Tidak terlalu susah menemukan Dalem, suara dengkurannya terdengar dari pojokan sebelah dalam mushola.

            Abdi terdiam sejenak melihat rekannya ini. Tidak tega sebenarnya membangunkan, ia termasuk yang paling rajin mendayung dan menolak untuk digantikan hingga dua kali. Akhirnya Abdi hanya duduk di sebelahnya saja. Teringat dahulu ketika berbarengan mendaftar sebagai pelayan kraton, lalu memutuskan untuk belajar dan berpetualang bersama, karena, dari semenjak kecil Abdi dan Dalem tidak pernah pergi jauh meninggalkan Mataram. Ayah mereka berdua adalah petani biasa yang tinggal di Desa Siluk, Mataram. Setelah dewasa, keduanya mendapatkan tawaran untuk menjadi pelayan kraton. Tawaran yang tentu langsung mereka terima, apalagi menjadi pelayan kraton adalah salah satu hal yang bisa dibanggakan di kalangan rakyat kecil Mataram.

            Pikirannya lalu beralih ke Kapten Sudirman, yang benar-benar luar biasa dalam memimpin ekspedisi dagang kapal Pinisi Mataram. Ingin rasanya ikut grup yang mungkin akan segera berangkat nanti untuk melihat kondisi kapal mereka yang terserang semalam. Semoga saja Kapten Sudirman selamat, itulah yang ada dalam pikiran Abdi. Baru mengenang sejenak, matanya lalu melihat ke arah depan, beberapa orang dengan baju ala melayu sedang melaksanakan sholat zuhur berjamaah. Abdi bisa mengetahui kalau mereka berasal dari Malaka dari warna dan corak sarung yang digunakan, sama persis dengan yang dijual di Pasar Wolio. Selain itu baju berwarna cerah oranye juga mengindikasikan mereka adalah penumpang kapal yang berasal dari utara Samudera. Abdi mencoba mendekat setelah mereka selesai menunaikan sholat. Hanya lima orang, satu Imam dan empat makmum. Tampak mereka bukan pedagang biasa, perawakannya tegap namun berbadan kurus seperti Abdi. Empat orang makmum bergegas keluar mushola sementara satu orang dari mereka tetap duduk dan berdzikir lalu berpindah ke pinggir, kemudian melihat ke luar, ke arah karang tempat kapal berlayar kekuningan tertambat.

            "Assalamualaikum..." sapa Abdi kepadanya.

            Orang tadi menengok kebelakang, ia tampak terkejut,

"Waalaikumsalam, ah orang Parahiyangan.. eh Mataramke?" tangannya terulur dan mereka pun berjabat tangan.

            "Mataram," jawab Abdi sembari tersenyum.

            "Karena warnanya biru tua ya? Hehe, hampir sama memang dengan prajurit Parahiyangan."

            "Oh pantas, saye kire dari Parahiyangan. Beza ternyata ya..."

            "Iya.. ini pakaian pelayan Kraton Mataram.. agak sedikit sama warnanya dengan warna pakaian prajurit Parahiyangan tapi lebih tua birunya..."

            "Waah, dari keraton rupanye.. kami juge!" katanya sembari melihat ke arah rekan-rekannya yang barusan selesai melaksanakan sholat.

            "Eh.. aduh.. anu..." Abdi tampak bingung bersikap karena salah menyangka mereka adalah pedagang biasa.

            "Saya kira tuan-tuan ini pedagang biasa.. rupanya dari kraton.. Mohon maaf sebelumnya..." ucap abdi sembari menempelkan kedua telapaknya di depan dada.

            "Kami dari Kerajaan Melaka, saye sendiri Kapten Kapal Dagang yang ditugaskan oleh Shahbandar dan Laksamana untuk ke Kerajaan Nusa. Perkenalkan name saye Mansor Azhar."

            Dengan agak gugup Abdi maju dan mengulurkan tangannya untuk berjabat tangan dengan Kapten Kapal.

            "Alhamdulillah, tempat yang elok nian. Sudah ke Istana Atas angin ke?"

            "Eh.. be.. belum tuan Mansur..."

            "Ah, panggil saja Kapten Mansur, tak usah grogi, sante laah..."

            "Iya.. maksud saya Kapten Mansur..."

            "Kita kan sudah biase ngobrol besame, sejak lima hari lalu.. dengan Mataram-Parahiyangan.. di tenda sebelah sana," tangan sang kapten menunjuk ke arah utara dari grup tenda Abdi dan Dalem.

            "Eh.. iya.. saya.. eee.. baru, maksudnya baru pagi ini kami sampai di sini..."

            KRUCUK-KRUCUK

            Tiba-tiba bunyi perut Abdi yang sudah lapar terdengar.

            "Wah, ade yang belum makan rupanye! Ayo lah kalau begitu, kite cari santapan siang!"

            Rasa malu seperti menyerangnya, ia lupa sudah disiapkan sate domba. Ingin pamit untuk kembali ke tenda, Abdi malah tak bisa menolak ajakan kapten kapal. Ah, pasti di sana juga ada prajurit Mataram-Parahiyangan, pikirnya. Sekilas melihat ke belakang mushola, ia berniat membangunkan Dalem nanti seusai menyantap makan siang.

            Ternyata Abdi dibawa ke arah utara dari tendanya tadi, tempatnya lebih tinggi, sehingga terlihat sekali dua buah kapal bercorak kekuningan dari sana. Terlihat orang-orang yang berada di tenda memakai pakaian cerah oranye, sama seperti yang digunakan oleh sang kapten dan empat orang makmumnya, yang sekarang berjalan bersama Abdi menuju mereka. Kapten Mansor langsung duduk di tengah, beberapa orang menyingkir untuk memberikannya ruang.

            "Alhamdulillah, suda matang ka santapan kite siang ni?" tanyanya kepada awak kapal yang berada di tenda.

            "Alhamdulillah suda kapten, satay celup nye siap disajikan laa..." seru beberapa orang kemudian.

            Disusul secara bersusulan beberapa ceting nasi yang dikeluarkan dari tenda.

            "Ah, itu die lalapannye, taruh sini -- taruh sini!" tempat disebelah depan kapten masih kosong.

            "Dimane sataynye? Kite masih kurang beberapa porsi" kata orang yang mengantar lalapan.

            Tampak empat orang prajurit Mataram dan tiga orang prajurit Parahiyangan di pinggir bersiap untuk ikut menyantap makanan, sepertinya mereka juga diundang untuk ikut makan bersama, sama seperti Abdi, yang segera mengambil posisi dekat dengan mereka. Obrolan pun segera mengalir.

            "Di beberapa tenda kita juga ada orang-orang Malaka kok."

            "Satenya beda di sini, katanya dicelup ke panci panas mendidih yang berisi bumbu."

            "Terpisah tapi satenya..."

            "Eh, dari kraton ya?"

            "Ah, oh, iya.. eh.. menu hari ini sate semua ya?" Abdi tampak agak lebih tenang sekarang, rasa lapar membuatnya lupa akan Dalem yang tertidur pulas di mushola.

            Tak berapa lama kemudian Kapten Mansor memimpin doa dan satay celup pun disantap bersama. Nampan besar terlihat di tengah, sementara itu daun pelepah pisang yang panjang dijadikan alas untuk makan di pinggir-pinggir, termasuk di tempat Abdi makan. Mereka makan dengan lahapnya sembari mengobrol, salah satu topiknya adalah pengangkutan domba yang cukup banyak dari Nusa ke Malaka.

            "Henam fuluh ribu dombaaa?? Hah!? Sidak salah hitung?" ucap Abdi sambil mengunyah satenya.

            "Kerajaan Nusa kan paling terkenal akan hasil ternaknya. Tidak mengherankan kok, ada satu juta lebih ternak di sini," ujar salah seorang prajurit Parahiyangan, membuat Abdi tersedak.

            "Dibagi ke tige kapal, masing-masing mengangkut due puluh ribu dombe, Alhamdulillah laah..." senyum salah seorang awak kapal Malaka.

            "Bukannye Mataram-Parahiyangan juge mengangkut kude? Banyak pun jumlahnye tadi saye lihat sekilas," tambahnya.

            "Ah, iya, tapi tidak sebanyak jumlah dombanya kok, hanya beberapa ribu saja," senyum salah seorang prajurit.

            Topik kedua adalah mengenai diserangnya Kapal Dagang Pinisi Parahiyangan, tiga sekoci berhasil selamat. Abdi tidak terlihat kali ini, dia rupanya sibuk mencari minum sehingga tidak sempat mengikuti topik pembicaraan kedua. Sekembalinya ia ke tempat makan setelah berhasil mendapatkan minum, topik pembicaraan sudah berganti lagi ke jenis kuda favorit yang disukai para prajurit.

            Sekitar satu jam lebih telah berlalu, suasana sudah lebih sepi ketimbang tadi, terdengar suara-suara dari tenda lain di kejauhan, mungkin mereka juga sudah menyelesaikan sesi makannya.

            "Harusnya Raden Eru sudah turun dan ikut makan siang bersama di salah satu tenda kita siang ini."

            "Eh, bareng Aa Yan ya?" Abdi langsung ikut masuk ke percakapan.

            "Iya, kali ini bareng Aa Yan, beliau juga tahu banyak tentang kuda dan tentu saja taktik perang."

            "Oh, iya kalian kan ekspedisi ke timur, ke.. Ternate kalau tidak salah?" ucap Abdi sambil mengingat-ingat.

            "Benar, tapi mereka sepertinya sudah bisa mengatasi sendiri serangan dari timur, kita sendiri membantu dengan diplomasi dan membawa tujuh belas kapal perang untuk menggetarkan musuh."

            "Hanya bertemu beberapa perompak, ah iya, ada grup kapal yang bubar dan mengubah haluan ketika bertemu," senyum seorang prajurit sembari mengenang.

            "Tidak ada yang berani sembarangan berhadapan dengan kapal perang kita, Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah."

            Pinisi Mataram-Parahiyangan tidak hanya terkenal tapi juga disegani di seluruh Perairan Nusantara.

            "Mungkin itu kapal yang menyerang kalian.. hmm.. bisa juga tidak sih, karena mereka berputar arahnya ke timur, bukan selatan..."

            Dari jauh terdengar suara-suara beberapa orang yang sepertinya semakin mendekat. Ternyata tidak hanya Abdi yang merasa seperti ada sesuatu, dua orang prajurit di depannya berdiri untuk melihat ke arah asal suara.

            "ADA APA?" teriak salah seorang prajurit sambil berdiri.

            Dua orang dari kejauhan tampak menengok ke arah mereka, ia mendekat dan berteriak,

"SHOLAT ASHAR BERJAMAAH DI TENGAH!!"

            Sekali lagi ia menyampaikan pesannya sambil menunjuk lapangan pasir di bagian sebelah barat, tepat di tengah seluruh tenda yang didirikan di pelabuhan.

            "SELURUH ORANG MATARAM-PARAHIYANGAN!! SHOLAT ASHAR BERJAMAAH!!"

            Prajurit yang tadi bertanya mengacungkan jempolnya kepada si pembawa pesan, ia berpaling,

"Nanti sholat Ashar berjamaah seluruh personil Mataram-Parahiyangan," ujarnya kepada mereka yang duduk dan masih nampak bersantai.

            "Sepertinya Raden Eru sudah menerima kabar diserangnya kapal dagang pinisi kita."

            "Hmm.. siap-siap berarti."

            "Ah, semoga terpilih ikut dalam ekspedisi penyelamatan," ucap salah seorang prajurit dengan bersemangat.

            Sementara itu Abdi terlihat sangat lega, "Untunglah, semoga mereka semua bisa selamat..." ucapnya.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun