Mohon tunggu...
Rendy Artha Luvian
Rendy Artha Luvian Mohon Tunggu... Penulis - Staf Diseminasi Informasi Iklim dan Kualitas Udara BMKG, anggota FLP (Forum Lingkar Pena)

Menulis adalah membangun Peradaban

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Catatan Abdi Dalem (Bagian 13, Nusa) - Singgah

25 Maret 2024   20:21 Diperbarui: 25 Maret 2024   20:23 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: editan penulis sendiri dari bahan di freepik.com

            Perairan Nusantara merupakan lautan yang luas, barat ke timur membentang dari Samudera hingga Pua-pua, utara ke selatan membentang dari Moro-Mindanao hingga pulau Jawa-Nusa, menyatukan kepulauan Nusantara sebagai satu kesatuan. Pada masa lalu ada negara bernama Sriwijaya dan Majapahit yang pernah menyatukan sebagiannya, puncaknya adalah ketika hampir seluruh wilayah Nusantara bersatu dalam satu panji Islam di bawah naungan Kekhalifahan Turki Utsmani. 

Kini, Islam kembali menyatukan jiwa-jiwa di Nusantara, pulaunya yang hijau dan lautnya yang biru dikelola oleh para hamba Allah yang senantiasa taat kepadaNya. Persatuan yang berdiri otomatis karena akidah, bumi Nusantara pun berbahagia karena orang-orang yang memakmurkan adalah makhluk yang sama-sama tunduk kepadaNya. 

Laut tenang ketika para penduduknya tidak merusak alam, yang menjadikan musim berubah tak menentu dan menimbulkan bencana di mana-mana. Itulah sunatullah, laut merupakan ciptaanNya yang paling berharga karena dari air lah segala sesuatu yang hidup di bumi tumbuh dan berkembang.

            Angin bertiup tak terlalu kencang di utara Nusa, tidak pula terlihat ombak yang bergulung tinggi. Sangat tenang di musim kemarau ini, hanya saja panas matahari memang terik, cukup untuk membangunkan mereka yang tertidur langsung di bawah sinar mentari. Sebuah benda yang terlihat seperti kayu cukup lebar berayun-ayun menuju daratan. 

Dilihat dari jauh benda ini mirip sampah lautan, kayu yang terbawa ombak, atau seperti penyu hitam besar yang mencari jalan menuju pantai. Pantai Nusa sendiri sedang tidak sepi, di pelabuhan sebelah barat terlihat dari benda tadi berjejer puluhan bahkan belasan kapal. Benda tadi tiba-tiba bergerak, memunculkan sosok-sosok dari dalamnya yang ternyata adalah manusia.


            "Ugh! Panas sekali! Hei, tolong bantu aku menyingkirkan terpalnya!" suara itu membangunkan yang lain.

            "Ah.. panas sekali..."

            "Aduh.. punggungku..."

Baca juga: 40 Hari Dajjal

            "Huff..."

            Seluruh tangan yang ada di dalam otomatis mengangkat ke atas, menaikkan terpal berwarna hitam yang menyelimuti mereka.

            "Ah, kaitannya! Lepaskan dulu kaitannya!" kata salah seorang dari mereka.

            "Di ujung!"

            "yang tengah juga!"

            "Sabar-sabar! Ini baru kucari kaitannya.. mana sih.., ah ini dia.."

            Setelah beberapa menit yang cukup menyibukkan terpal berhasil dibuka dari sebelah ujung, mungkin karena tempat kaitannya paling mudah dicari. Cahaya pun berhasil masuk dan menerangi sebagian isinya.

            "Ayo, ayo, cari sisanya, kita angkat ke atas, lalu dilipat," kata seseorang di ujung depan sambil menarik terpal ke atas kepalanya.

            "Eh, tunggu, di luar aman kan!?"

            "Hei hei, bahaya, cek dulu!"

            Sudah terlambat, kepala orang yang berada paling ujung depan sudah keluar, ia mengangkat terpal ke atas kepala dan menoleh melihat depan. Pandangannya terpaku ke sebelah kiri, tidak berapa lama tampak bentuk wajahnya yang semula mengantuk berubah menjadi cerah.

            Ia pun berteriak, "ALHAMDULILLAH..! ALHAMDULILLAH..!"

            Tak sabar, yang lain pun bergegas segera membuka terpal, ingin menyaksikan pula apa yang dilihat orang paling ujung depan tadi.

            "Kita sudah sampai di Nusa! Eh, benar kan Lem?" pandangannya menuju ujung paling belakang, seharusnya orang paling belakang juga sudah bisa melihat.

            "Ehh, sudah kayaknya Di.. Lemes badanku.. mana panas lagi..." jawabnya segera.

            "Alhamdulillah," hampir seluruh orang di dalam benda tadi bertahmid.

            Rupanya sekoci sembilan telah sampai di tujuannya, Kerajaan Nusa, dengan selamat.

                                                                        ~~

            Agak sibuk di pelabuhan, beberapa orang menaikkan muatan ke kapal yang nampak tak biasa. Di sebelahnya, sejumlah kapal berjejer rapi memiliki bentuk serta ciri khas yang mirip, bendera yang dipakai memiliki lambang sama namun berbeda warna. Tampak dari kejauhan lambang itu adalah dua pohon berjajar, satu tampak kokoh batangnya sementara yang satu lagi ramping namun lebih lebat daunnya. Ketujuh belas kapal itu berbeda dengan kapal-kapal lain yang berada di pelabuhan, bentuknya lebih besar, meriam pun terpasang enam buah di masing-masing penjurunya.

            "Kapal perang Pinisi Mataram-Parahiyangan!" teriak salah seorang di paling depan, ia langsung mengenali lambang yang nampak gagah tertiup angin di atas kapal itu.

            "Yang benar!?"

            "Gak salah lihat kan?"

            "Woi, cek lagi nanti kalau udah dekat."

            "Keburu senang malah kecele ntar."

            "Udah-udah, cepetan dayung sekocinya!"

            Suara-suara bersahutan pun muncul menyusul yang pertama tadi, sekoci delapan ternyata juga telah tiba di Pelabuhan Nusa, meskipun lebih lambat dibandingkan sekoci sembilan.

            "Kasih tahu yang belakang!! Kalau sudah pasti tapi"

            "Tuh, lihat, warnanya biru dan merah! Lambangnya juga sudah mulai jelas kelihatan!"

            Beberapa mata tampak memicing untuk melihat lebih jelas dari kejauhan.

            "Ah, iya, itu jelas pohon Trembesi dan Beringin"

            "Alhamdulillah..."

            Seseorang yang berada di paling ujung belakang berdiri di atas sekocinya lalu berbalik sambil mendekatkan kedua telapak tangan ke mulut,

"KAPAL PERANG PINISI MATARAM PARAHIYANGAN DI DEPAN!" kalimat itu diucapkan berulang-ulang ke sekoci di belakang, yang ternyata juga berteriak ke arah mereka.

            "... ARAH TENGGARA ... LIHAT... TENGGARA!" suara dari belakang terdengar terputus-putus, tidak aneh jika kedua sekoci itu pada akhirnya tidak mendengar apa yang mereka teriakkan satu sama lain.

            "Diam dulu!"

            "Dengarkan dulu sekoci tujuh bilang apa, kita pasti toh akan berlabuh di sana juga!" ujar seorang penumpang sambil menunjuk ke arah pelabuhan. Dua orang di belakang langsung memasang kedua kupingnya untuk mendengar lebih jelas apa yang diteriakkan sekoci tujuh.

            "LIHAT ....TENGGARA... ..KOCI SEMBILAN!"

            "... ARAH TENGGARA..."

            Dua orang tadi kemudian menolehkan muka ke arah dekat karang, tempat beberapa lahan gambut terlihat dari jauh. Semula mereka tidak menyadari dan hanya menatap ke arah tenggara, mata penumpang lain segera menuju ke tempat tersebut.

            "Hmm.. ada apa? Apa maksudnya? Kita disuruh merapat ke sana?"

            Beberapa saat kemudian terlihat sebuah benda berbentuk seperti penyu hitam besar yang bergerak ke arah pinggir, rasa paham segera menyelimuti seluruh penumpang, meskipun mereka sedikit ragu.

            "Bukan kayu basah kan..."

            Terlihat sesaat kemudian beberapa orang keluar dari terpal yang menutupinya. Di ujung depan muncul seseorang yang segera memicingkan mata melihat ke arah pelabuhan. Sementara dari belakang muncul laki-laki yang terlihat gemuk dan masih berusaha menyeimbangkan diri. Tampak ia kelelahan sekali dan akhirnya ikut memicingkan mata ke arah yang sama dengan orang di ujung depan. Mereka bersorak sorai setelah itu.

            "Panggil mereka! Alhamdulillah semua sekoci ke Nusa selamat!"

            "SEKOCI SEMBILAN!! WOOOOIIII!"

            Suara yang tak didengar oleh sekoci sembilan, hanya terlihat dari jauh mereka mengangkat dan merapikan terpal, semua terlihat lelah dan mengantuk. Sampai kemudian seseorang yang gemuk di ujung paling belakang sekoci sembilan tadi menoleh cukup lama ke arah kiri barulah ia menyadari apa yang dilihatnya. 

Tangannya otomatis melambai ke atas, ke arah dua sekoci yang datang dari arah utara, yang lain segera mengikuti. Lambaian yang segera dibalas oleh sekoci tujuh dan delapan. Sementara itu seperti terjadi keributan di sekoci sembilan setelah mereka semua mengetahui bahwa seluruh sekoci yang mengarah ke Nusa selamat, dan bertambah ramai lagi ketika salah seorang penumpang menunjuk-nunjuk ke arah pelabuhan, tempat tujuh belas kapal perang Pinisi Mataram Parahiyangan sedang berlabuh.

            "Mereka akhirnya menyadari, Alhamdulillah," ujar seseorang dari sekoci delapan.

            "Seharusnya mereka bisa melihat lebih jelas daripada kita," ucap yang lain.

            "Alhamdulillah, semoga masih ada waktu untuk menyelamatkan Kapten Sudirman dan yang lain..."

            Meskipun terdengar sedikit ragu, kalimat terakhir membuat suasana hening di sekoci delapan, beberapa penumpang terlihat hanya menahan perasaan. Harapan masih ada di kala musibah menerpa.

            "Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan."

                                                                                    ~

            Wilayah Kerajaan Nusa terdiri dari beberapa pulau yang saling menyokong antara satu dengan yang lainnya. Masing-masing pulau memiliki komoditas ekonomi andalan. Tidak mengherankan jika banyak Kerajaan di Nusantara menjalin kerjasama dengan Kerajaan Nusa, terutama mereka yang berdekatan. Sebagian besar kapal yang berlabuh adalah kapal dagang, yang paling rutin kemari yakni Kapal dagang dari Kerajaan Gowa. 

Ada kerjasama khusus yang terjalin antara dua kerajaan ini. Tidak seperti biasanya memang, terlihat tujuh belas kapal perang Mataram-Parahiyangan berlabuh. Biasanya, hanya kapal dagang mereka saja yang, jika memang sudah musimnya untuk bertukar komoditas, berlabuh di pelabuhan Bima.

            Satu grup kapal perang terdiri dari minimal tiga buah kapal, berarti paling tidak ada lima grup yang diterjunkan oleh Kerajaan Mataram - Parahiyangan kali ini, jumlah yang tidak sedikit. Selain kapal-kapal dagang dan perang, jumlah sampan juga ternyata cukup seimbang. 

Berlalu-lalang di sekitar pelabuhan, mereka datang dari pulau-pulau di sebelah barat dan timur. Membawa barang dagangan kebutuhan sehari-hari atau mengambil barang-barang dagangan dari luar Nusa di pulau utama. Ini adalah salah satu hal yang membuat kemunculan misterius tiga buah sekoci di utara pelabuhan menjadi agak terabaikan. Bentuknya yang kecil dan hampir sama dengan sampan, namun kalah panjang, menjadikannya tidak terlihat mencolok. 

Barulah ketika hampir berlabuh di pinggir pelabuhan, beberapa orang dari petugas yang berjaga melihat keanehan. Sekumpulan penumpang terlihat lelah dan kusut serta beberapa orang yang mengenakan seragam Mataram amatlah menarik perhatian. Mereka langsung paham begitu melihat bentuk kapal yang kecil dan cukup unik itu.

            "..Itu sekoci!" kata salah seorang dari mereka.

            "Segera beritahu para prajurit Mataram-Parahiyangan di pelabuhan!" kata yang lainnya dengan terburu-buru sambil menyiapkan tali untuk membantu menambatkan sekoci setelah sampai di pinggir.

            Tak berapa lama kemudian terjadi kehebohan yang menarik minat pengunjung di sekitar pelabuhan. Para prajurit Mataram-Parahiyangan yang berseragam merah dan biru pun datang dari segala penjuru menuju tempat berlabuhnya sekoci.

            Meskipun terlihat lelah, penumpang sekoci tujuh sampai sembilan masih sangat sehat. Setelah meminggirkan sekoci, dibantu oleh petugas pelabuhan, mereka bersama-sama menyusuri jembatan kayu. Beberapa prajurit Mataram-Parahiyangan tampak berlari dari arah depan jembatan, turut membantu menurunkan dan membawa barang-barang dari sekoci. 

Para prajurit Mataram dari seluruh sekoci pun segera menceritakan perihal mereka kepada teman-temannya. Bagaimana kapal mereka dibuntuti semenjak awal malam oleh kapal-kapal misterius yang berjumlah tiga buah, kekagetan mereka dan kesigapan Kapten Sudirman merespon situasi. Belum selesai bercerita, datang seseorang dari arah depan menggunakan seragam yang mengingatkan mereka akan seragam Kapten Sudirman, namun dengan pangkat berbeda di sebelah dadanya.

            "Simpan dulu cerita kalian. Segera ke tim medis dan beristirahatlah."

            Ia lalu berkata kepada seseorang di samping,

"Siapkan makanan yang tadi dan prioritaskan mereka terlebih dahulu," pandangannya kembali kepada orang-orang yang baru turun dari sekoci.

"Saya sempat mendengar sedikit ucapan kalian. Jika apa yang kalian katakan benar, sebentar lagi kita harus bersiap untuk berlayar dengan misi penyelamatan," ujarnya, membuat muka seluruh penumpang berubah, beberapa bertakbir, menjadikan kata-kata berikutnya tidak begitu terdengar.

            "Aa Yan ... dan Raden ..... di sini," hanya prajurit terdepan dan beberapa orang di tengah saja yang mendengar, termasuk Abdi.

            Kelegaan yang sangat besar menyelimuti mereka, orang-orang terdepan, para prajurit Mataram dari sekoci tujuh sampai sembilan sejenak melupakan kelelahan dan bersemangat kembali untuk, jika memungkinkan, ikut kembali dalam misi penyelamatan.

            "Eh, apa? Raden Eru.. Lem, dengar gak tadi?" tanyanya kepada Dalem yang tak tertarik dengan pembicaraan di depan dan hanya memegang perutnya, menahan lapar.

            Kapten kapal perang Pinisi Mataram-Parahiyangan pun mengakhiri kalimatnya, sembari tersenyum.

            "Ceritakan semuanya kepada mereka nanti sekembalinya dari Istana Atas Angin. InsyaAllah siang ini keduanya sudah kembali."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun