[caption caption="(PIC:Pulsk.com)"][/caption]Wajah-wajah kelu,
Mengarak gerah di keringat,
menepis udara panas di Pelabuhan Merak,
dalam satu hentakan nafas..
Mengkelamkan garis wajah, diterpa angin dari Laut Selat Sunda...
Dalam antrian yang semakin panjang..
Menggores rasa kesal hingga ke ujung ubun, menyentuh wilayah Cilegon Timur..
Suara desah dan teriak putus asa pun, menggema memecah udara siang hari itu..
Jenuh dan suntuk yang tak lagi bisa tertahankan, dihadang hal yang tak pasti...
Marah, yang tak lagi didengar..!
Lapar, yang tak lagi dihiraukan...
Tertelan deru-deru mesin Kapal Ferry, dan pluit panjang orang-orang sibuk yang bergegas dahulu menyeberang...
Sayup senandung "Nyanyian Para Supir" ...
Mengumandang pilu dan mengiba: Di balik kaca truk yang terbuka mengintip waktu..
Mencari sejumput teduh walau cuma di antara roda,
Terhenti dalam bayang semu di rangkas mobil....
“Habiskan dulu kopimu, Bung.....!
“Tanggalkan dulu lelahmu, di warung-warung ...
“Di depan, jalan masih panjang....
“Di depan, sepi pun masih membentang .. (hari-harimu)...
“Di depan, RINDU mu akan semakin dalam....
“Menjauhkanmu dari Rumah (Cinta): karena mengejar mimpi ....!
“Dan di antara jeritan klakson di Jalur Lintas Sumatra ,
" dalam uang di kotak korek api,
"Yang kau lempar keluar jendela ke jalanan...
“Malam semakin panjang... Malam semakin membentang....
==============================================
(By: Rendra Tris Surya, terinspirasi oleh lagu “Nyanyian Para Supir” Franky Sahilatua di dalam Bus antar propins. Sambil mengamati aktivitas antrian truk di Pelabuhan Merak, Banten saat itu yang menyebarang ke Pulau Sumatera, dalam perjalanan saya suatu hari ke Lampung/2013)