Sejak 8 September 2025, Purbaya Yudhi Sadewa diangkat menjadi Menteri Keuangan menggantikan Sri Mulyani Indrawati. Sebelumnya, Sri Mulyani dikenal sebagai figur yang berpegang kuat pada disiplin fiskal dan reformasi sistem perpajakan yang memperkuat kredibilitas Indonesia di mata pasar global. Pengangkatan Purbaya membawa sejumlah harapan baru sekaligus tantangan besar. Dari sisi latar belakang, ia memiliki kombinasi pendidikan teknik dan ekonomi---lulusan ITB, kemudian S2 dan S3 dari Purdue University---serta pengalaman sebagai Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dan berbagai posisi di sektor investasi dan pemerintahan.
Data menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia tumbuh sekitar 5,12% pada kuartal II 2025. Realisasi investasi---terutama investasi mesin---melonjak cukup signifikan (mesin +25,3%) sedangkan investasi bangunan tumbuh sekitar 4,89%. Di kuartal I 2025, ekonomi tumbuh lebih rendah, sekitar 4,87% year-on-year, yang menunjukkan ada tantangan dalam menjaga momentum pertumbuhan. Selain itu, tingkat daya saing Indonesia juga memperlihatkan perbaikan; menurut laporan BKPM, Indonesia berhasil naik beberapa peringkat dalam Indeks Daya Saing Global. Indonesia memiliki bonus demografi dengan persentase penduduk usia produktif yang besar yang menjadi salah satu modal utama pertumbuhan jangka panjang. Sisi lain, potensi ekonomi digital digadang-gadang sangat besar: estimasi pemerintah menyebut ekonomi digital pada 2030 bisa mencapai USD 210--360 miliar atau kira-kira Rp5.800 triliun.
Dengan latar belakang dan kondisi tersebut, peluang Indonesia ke masa depan cukup menjanjikan tetapi akan sangat bergantung pada bagaimana Kementerian Keuangan, di bawah Purbaya, mengelola beberapa aspek berikut. Pertama, disiplin fiskal versus program populis. Purbaya telah menyatakan akan tetap mengikuti aturan yang berlaku, termasuk batas defisit fiskal maksimal 3% dari PDB meskipun APBN 2026 masih memungkinkan untuk direvisi. Pasar dan investor melihat bahwa kepergian Sri Mulyani menimbulkan kekhawatiran kebijakan fiskal bisa lebih longgar. Jika Purbaya mampu menjaga keseimbangan antara mendanai program pemerintah dan tetap menjaga defisit, rupiah dan kepercayaan investor bisa tetap stabil. Kedua, pemanfaatan bonus demografi. Populasi produktif harus diiringi dengan investasi besar di bidang pendidikan, kesehatan, dan pengembangan keterampilan. Tanpa peningkatan kualitas SDM, bonus demografi bisa berubah menjadi beban. Ketiga, transformasi digital dan ekonomi berbasis teknologi. Indonesia memiliki infrastruktur dasar yang memadai: penetrasi internet dan jumlah ponsel aktif tinggi, jumlah UMKM besar, sehingga apabila digerakkan lewat digitalisasi, bisa menjadi pendorong pertumbuhan besar. Potensi ekonomi digital yang diprediksi mencapai Rp5.800 triliun pada 2030 harus didukung regulasi yang memadai, perlindungan data, literasi digital, dan inklusi keuangan.
Keempat, reformasi pajak dan pengelolaan keuangan publik. Sri Mulyani meninggalkan jejak kuat dalam reformasi perpajakan. Purbaya harus melanjutkan atau memperkuat reformasi ini agar penerimaan negara meningkat, tetapi dengan keadilan, agar tidak menimbulkan resistensi publik. Kebijakan perpajakan yang transparan, sederhana, dan adil sangat diperlukan. Kelima, pengelolaan risiko global dan stabilitas makro. Situasi global---tingginya suku bunga di AS, ketidakpastian geopolitik, tekanan inflasi global, hingga perubahan iklim---akan mempengaruhi kondisi ekonomi domestik. Purbaya harus bekerja erat dengan Bank Indonesia dan lembaga keuangan lain untuk menjaga stabilitas moneter, mengendalikan inflasi, dan mengamankan nilai tukar rupiah.
Saya berpendapat bahwa dengan Purbaya Yudhi Sadewa sebagai Menteri Keuangan, Indonesia memasuki fase transisi yang kritis. Bila kebijakan keuangan dijalankan dengan hati-hati dan visioner, negara memiliki potensi besar untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi ke angka lebih tinggi, membangun ekonomi digital yang kuat, dan menggunakan bonus demografi secara tepat sasaran. Namun jika keseimbangan fiskal diabaikan, ketidaksetaraan meningkat, atau kebijakan populis tidak dikontrol, risiko seperti pelemahan kepercayaan investor, defisit yang makin dalam, inflasi tinggi, dan volatilitas ekonomi bisa muncul. Arah ke depan harus menekankan transparansi, efisiensi pengeluaran publik, penguatan sektor digital dan inovasi, serta peningkatan kualitas SDM. Jika semuanya dijalankan dengan sinergi, Indonesia dapat melompat ke era baru pertumbuhan inklusif dan berkelanjutan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI