Mohon tunggu...
Rendinta Delasnov Tarigan
Rendinta Delasnov Tarigan Mohon Tunggu... Praktisi Perpajakan

Menulis untuk Bertumbuh menjadi Manusia yang Utuh. Inquiry: rendi.tarigan@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tentang Jejak Karbon dalam Budaya Instan: Waktu yang Dikonsumsi, Alam yang Koma

25 Juni 2025   05:00 Diperbarui: 24 Juni 2025   16:03 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Jejak Karbon (sumber: AI-generated picture)

Kita dapat menyalahkan industri, pemerintah, atau sistem itu sendiri. Namun, pada akhirnya, kita semua adalah bagian dari ekosistem konsumsi. Pilihan pribadi kitalah---membeli barang murah secara impulsif, memilih pengiriman kilat, atau membuang makanan yang tidak habis---yang menyumbang jejak karbon. Saat semua orang melakukan hal yang sama terus-menerus, dampaknya pun menjadi sistemik.

 

 Namun, bukan berarti tidak ada harapan. Solusinya bisa jadi sesederhana: memperlambat. Gerakan slow living yang dianggap "ketinggalan zaman" kini justru dapat menjadi "oase" di tengah dunia yang terburu-buru. Makan perlahan, belanja dengan sadar, merawat barang dengan baik, memperpanjang usia pakai alat keseharian kita. Semua ini bukan sekadar gaya hidup alternatif. Ini adalah bentuk tanggung jawab ekologis.

  

Slow food menolak makanan olahan cepat yang sarat emisi dan limbah. Slow fashion menolak tren yang berubah tiap minggu dengan mempromosikan pakaian tahan lama dan etis. Slow travel mendorong kita untuk meresapi perjalanan, bukan sekadar mengejar tujuan. Semua ini menyuarakan hal yang sama: bahwa memperlambat bukan berarti mundur. Memperlambat bisa berarti bertahan lebih lama. Carl Honor, dalam bukunya In Praise of Slowness, mengungkapkan bahwa dunia modern telah terperangkan dalam 'kultus kecepatan'---dimana segalanya harus diselesaikan lebih cepat, lebih singkat, lebih instan. Tapi, di balik itu semua, manusia justru makin lelah, makin cemas, dan bumi pun makin rusak. Maka, memperlambat bukan hanya pilihan gaya hidup, tetapi juga bentuk perlawanan terhadap sistem yang merusak.

  

Dalam konteks Indonesia, kita punya warisa budaya yang selaras dengan ritme alam. Salah satunya ada dalam budaya Jawa. "alon-alon asal kelakon" atau yang dapat diartikan "pelan-pelan asalkan selamat". Atau dalam adat Minang, ada "tataruang" yang disusun dengan perhitungan musim. Sayangnya, semua ini seringkali dianggap kuno di tengah arus globalisasi yang menuntut percepatan tanpa batas. Padahal, kearifan lokal semacam ini justru bisa menjadi inspirasi penting dalam membangun keberlanjutan.

  

Mungkin kita tidak bisa langsung menghentikan semua bentuk konsumsi cepat. Dunia kerja, teknologi, dan system sosial sudah terlanjur dibangun di atas asas efisiensi. Tapi kita masih bisa memilih ruang jeda. Kita masih bisa mengendalikan satu hal: ritme hidup kita sendiri.

  

Kita bisa mulai bertanya sebelum membeli: Apakah saya butuh ini atau hanya tergoda iklan? Kita juga bisa memilih produk lokal berkualitas yang tidak menempuh ribuan kilometer dari luar negeri untuk sampai ke rumah kita. Kita dapat memperbaiki barang milik kita sebelum membeli yang baru. Kita dapat memperlambat langkah, memperpanjang nafas, dan memberi ruang untuk berpikir ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun