Keadaan inilah yang disebut sebagai supremasi logistik atau kita mengenalnya dengan padanan swasembada. Kebutuhan yang hanya dapat dihasilkan oleh daerah yang jauh atau negeri-negeri lain sangat terbatas.
Kita mungkin akan bertanya-tanya apakah hal ini dimungkinkan mengingat Cina merupakan bandar dagang utama pada masa pramodern. Untuk menjawab keraguan ini, kita pertama-tama harus menengok gaya hidup kaisar.Â
Istana-istana Cina tidak banyak mengandung ornamen-ornamen asing. Ketika Eropa telah memiliki bola lampu dan bahkan menjualnya ke Asia, Kota Terlarang (sebutan untuk kompleks istana pemerintahan di Beijing) masih menggunakan lampu minyak.Â
Satu-satunya benda dari negeri asing yang terlihat di Kota Terlarang adalah mesin jam. Hal ini menunjukkan bahwa selera masyarakat Cina sangat susah dipenetrasi. Pola semacam ini bertahan bahkan hingga awal abad kedua puluh.
Kini, kita harus menengok ke Nusantara pada masa yang sama. Penetrasi pasar global dan pembentukan selera "asing" telah berlangsung di Jawa bahkan sebelum kedatangan Eropa.Â
Kita masih mengingat batu-batu nisan awal Islam yang berasal dari Parsi dan tentu saja keramik Cina yang menjadi temuan umum para arkeolog. Benda-benda ini adalah penanda bahwa kita telah bergantung pada produk asing sejak permulaan peradaban kita.Â
Namun demikian, sebelum tahun 1830, kelompok yang berhasil dipenetrasi oleh pasar global adalah kelompok elite pemerintahan. Barang-barang asing hanya umum terlihat di keraton-keraton.Â
Keadaan di luar keraton yang sepenuhnya tidak menunjukkan ciri urban masih dapat mempertahankan supremasi logistik. Petani hidup secara subsisten dengan menanam sendiri makanan, membuat sendiri pakaian, dan membangun sendiri rumah mereka.Â
Hal ini membuat mereka tidak dapat ditekan oleh pasar. Satu-satunya pihak yang dapat menekan subsistensi petani pada saat itu adalah pemerintah atau penguasa.Â
Sekalipun antropolog seperti James Scott atau Eric R. Wolf menyatakan bahwa gaya hidup subsisten petani Asia Tenggara menyebabkan keamanan ekonomi mereka mudah goyah, kegoyahan itu tidak terjadi sebelum mereka mengenal pasar global.Â
Kegoyahan petani di Birma (kini Myanmar) dan Vietnam tempat Scott dan Wolf mengadakan penelitian terjadi tepat pada permulaan abad kesembilan belas --ketika ekonomi wilayah Asia Tenggara mulai memasuki pasar global.Â