Mohon tunggu...
Christopher Reinhart
Christopher Reinhart Mohon Tunggu... Sejarawan

Christopher Reinhart adalah peneliti sejarah kolonial Asia Tenggara. Sejak 2022, ia merupakan konsultan riset di Nanyang Techological University (NTU), Singapura. Sebelumnya, ia pernah menjadi peneliti tamu di Koninklijke Bibliotheek, Belanda (2021); asisten peneliti di Universitas Cardiff, Inggris (2019-20); dan asisten peneliti Prof. Peter Carey dari Universitas Oxford (2020-22).

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Supremasi Logistik Kita Telah Runtuh Sejak Tahun 1830

21 Mei 2020   23:46 Diperbarui: 22 Mei 2020   16:14 2002
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Geoogste rijst in schoven gebonden (circa 1920 | Koleksi KITLV)

Hal itu menyebabkan krisis yang terjadi jauh di Amsterdam, London, dan bahkan New York memiliki pengaruh besar terhadap petani di desa-desa kecil Jawa. Hal ini kemudian menandakan bahwa supremasi logistik kita juga jatuh bersamaan dengan terbukanya kita pada pasar global. 

Supremasi logistik adalah istilah yang digunakan oleh sarjana Cina untuk menyebut kemampuan swasembada yang berhasil diterapkan oleh kota-kota di Cina hingga jatuhnya Dinasti Qing (tahun 1912). Kemampuan semacam ini juga kita miliki sebelum kita bergabung dengan pasar global.

Pada tahun 2017, saya mengadakan penelitian untuk mengetahui proses pembentukan kota urban Beijing. Kini, tampaknya sangat relevan untuk memperbandingkan hal itu dengan situasi yang terjadi di Indonesia. 

Daerah yang kini kita kenal sebagai Beijing berubah menjadi sebuah kota urban pada masa pemerintahan Kaisar Yongle dari Dinasti Ming (bertakhta, 1404---1424). 

Pada awal masa pemerintahannya, ibu kota kerajaan tidak berada di Beijing, tetapi di Cina bagian selatan (di Nanjing, nan artinya 'selatan' --Nanjing adalah ibu kota selatan; bei artinya 'utara' --Beijing adalah ibu kota utara). 

Oleh sebab keinginan kaisar untuk membendung ekspansi suku-suku nomaden dari utara Cina, ia memindahkan ibu kota negara ke Beijing yang merupakan titik utara paling dekat dengan laut dan Tembok Besar Cina. 

Namun demikian, pada masa itu Beijing masih belum berbentuk kota urban. Masih banyak usaha agraris yang dilakukan di dalam kota sehingga membuatnya seperti desa dengan istana di tengahnya. 

Dalam waktu kurang dari sepuluh tahun, Beijing bertransformasi. Tembok kota dibangun dan di dalam tembok tersebut dibangun istana dan kuil-kuil. Keberadaan kuil-kuil kemudian mengusir usaha agraris ke luar tembok kota.

Dengan demikian, bagaimana Beijing memenuhi kebutuhan logistik makanannya? Terusirnya usaha agraris ke luar tembok kota tidak membuat Beijing sepenuhnya bersandar pada perdagangan makanan dari luar wilayahnya. 

Di luar tembok kota, bertumbuh tanah-tanah agraris yang dikerjakan oleh penduduk Beijing. Dengan demikian, kota ini menjadi swasembada. Ekonomi Beijing hanya terintegrasi secara penuh dengan tanah-tanah agraris yang berada di sekitarnya. Kebutuhan kota ini hanya terintegrasi secara sangat terbatas dengan negeri-negeri jauh. 

Pola yang sama kemudian tumbuh di kota-kota Cina yang lain. Kebutuhan logistik sebuah kota hanya akan tergantung secara penuh kepada tanah-tanah agraris di sekitarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun