Pada masa pandemi yang kini melanda dunia, kita dihadapkan pada dua pilihan prioritas, yaitu berfokus pada rehabilitasi kesehatan atau berfokus pada rehabilitasi ekonomi. Memilih salah satu dari dua pilihan tersebut sama halnya dengan memakan buah simalakama.Â
Namun demikian, memilih keduanya juga merupakan suatu tindakan yang tampak tidak mungkin. Sekitar satu minggu yang lalu, Najwa Shihab mewawancarai Menteri Keuangan Indonesia, Sri "Ani" Mulyani.Â
Menteri Ani kemudian menjelaskan efek apa yang akan ditimbulkan oleh pandemi kepada perekonomian Indonesia. Selain itu, ia juga menjelaskan langkah-langkah yang sedang diusahakan oleh pemerintah untuk meminimalkan efek negatif yang mungkin terjadi.Â
Beberapa hari setelah itu, muncul saran dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) DKI Jakarta kepada Gubernur Anies Baswedan untuk segera mencabut status pembatasan sosial. Saran ini dikemukakan dengan dasar kekhawatiran efek ekonomi yang merosot dan akan menyulitkan warga Jakarta Raya.
Dengan berbekal pengetahuan mengenai sejarah pramodern di Kepulauan Nusantara dan pengamatan terhadap kondisi yang sekarang terjadi, saya melihat bahwa krisis dan hambatan ekonomi yang kini sedang dihadapi oleh Indonesia dan dunia disebabkan oleh sedikitnya dua hal. Pertama, terintegrasinya ekonomi kita dengan ekonomi global.Â
Kedua, ketiadaan kemampuan kita untuk menciptakan supremasi logistik. Sebetulnya, alasan pertama tadi merupakan suatu keniscayaan dalam dunia modern. Dengan demikian, saya tidak mengutuk atau mengkritik integrasi ekonomi kita dengan ekonomi global.Â
Pada tulisan ini, saya hanya memberikan informasi tentang keadaan Nusantara pramodern yang mungkin dapat menjadi refleksi terhadap fenomena masa kini.Â
Kepulauan Nusantara disebut memasuki masa modern dalam bidang ekonomi sejak tahun 1830. Masuknya kita ke dalam masa modern ditandai terutama oleh bergabungnya kita ke dalam pasar global melalui cultuurstelsel yang diterapkan oleh Belanda.Â
Dengan adanya sistem tersebut, petani di Jawa menjadi rantai pemasok kebutuhan global. Priangan menjadi penghasil kopi, Malang menjadi penghasil tebu, dan banyak tempat lain menghasilkan barang-barang yang menjadi kebutuhan Eropa dan Amerika.
Bersamaan dengan bergabungnya kita ke dalam pasar global, kemapanan hidup petani kita jatuh dalam taraf yang sangat rendah. Saya pernah membahas ini dalam artikel berjudul "Jatuhnya Kemapanan Hidup Petani di Asia Tenggara".Â
Penyebab kemerosotan ini sudah jelas. Petani yang pada mulanya hidup subsisten --memenuhi kebutuhan minimalnya secara mandiri, kemudian harus bergantung pada pasar karena diperkenalkan barang-barang konsumsi yang berasal dari luar daerah dan luar kepulauan.Â