Mohon tunggu...
Regen wantalangi
Regen wantalangi Mohon Tunggu... Penulis - dalam hening ada renung

si tou timou tu mou tou

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Filosofi Minahasa

27 Maret 2020   11:52 Diperbarui: 28 Mei 2020   11:15 524
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Om Alo tau bahwa dia tidak akan menang melawan tentara berhidung belang itu, dengan peluru yang jumlahnya tinggal tiga saja, dibandingkan dengan senapan yang dimiliki tentara Belanda itu yang sekali tembak dapat menghancurkan cabang-cabang pohon. dengan situasi yang sangat tegang ini om Alo memberi kode kepada Sam untuk pergi lari dari daerah pertempuran itu "Sam meimou tole, tiamou manggenang nyaku tole, meimou ko ka amiyan!" (Sam pergi saja, jangan hiraukan om, pergilah ke arah utara!) teriakan om Alo dalam bahasa Toulour (bahasa suku). Karena bahasa toulour adalah bahasa yang tidak dimengerti oleh tentara Belanda.

Sam hanya terdiam dan kaku, dibalik pohon yang besar itu dia mengintip om Alo yang sedang berjuang dan tidak menghiraukan kode dari om Alo itu, tembakan demi tembakan dilantunkannya kepada musuh, tetapi sehebat-hebatnya om Alo perlengkapan yang dimilikinya kurang, bahkan pelurunya habis. Disebela barat penuh lobang dan jurang, disebelah selatan arah musuh, disebelah timur pegunungan daerah persembunyian warga dan disebelah utara tempat persembunyian Sam.

Om Alo tidak ada jalan untuk melarikan diri, menghidar dari musuh dan bidikan-bidikan peluruh yang datang, dengan tekad dan keyakinan yang kokoh om Alo tetap memilih berdiri tegap walau peluru-peluru datang melumuri seluruh tubuhnya dan sambil berteriak "I Yayat U Santi" yang adalah semboyan orang Minahasa .

Sam yang menyaksikan kejadian itu dibalik cela kecil pohon tempat dia bersembunyi, menjadi sangat sedih dan menagis sambil menggigit baju yang dipakainya karena takut kedengaran oleh Belanda. Datanglah tentara-tentara Belanda itu ke arah mayat om Alo yang sudah terbaring berlumuran darah, yang satu sambil menggendong teman mereka yang mati ditembak om Alo, setelah mereka melihat mayat itu, mereka kembali ke arah dari mana mereka datang.

Dari cerita mereka, Sam yang mengerti bahasa Belanda pun mengerti apa yang mereka bicarakan. Sam baru tahu bahwa om Alo adalah salah satu dari orang pribumi yang sangat diincar-incar Belanda, karena dia salah satu dari Jong Selebes yang memperjuangkan kemerdekaan dan adalah pelopor dari Sumpa Pemuda di Hindia-Belanda. Dengan hal itu Sam sadar ternyata om Alo adalah orang yang penting dan tugas-tugasnya bersifat khusus, karena itu tidak diragukan lagi argumen om Alo dalam perjalanan mereka untuk membela mati-matian negeri Minahasa dan menghujat mati-matian si hidung belang itu dan keahliannya berperang.

Tepatnya jam dua belas siang Sam menguburkan om Alo, dengan terbahat-bahat dia menangis sambil menutupi mayat itu di lubang bom dan berpesan di depan kubur itu "Nyaku tuama Minahasa, Sam Ratulangi siap untuk melanjutkan perjuangan mu yang luhur ini, I yayat U Santi". Arloji yang selalu dipegang om Alo kini ada di tangan Sam dan kini menjadi miliknya, seakan-akan memberi pesan kepada Sam bahwa perjuangan om Alo berpinda tangan. Karena berbicara waktu bagi orang-orang Minahasa adalah kesempatan kedua yang telah diberikan Sang Pencipta.

Sam melanjutkan perjalanannya dengan ditemani oleh arloji dan rantang yang digenggamannya, hari masih siang, tenga hari buta. Dengan sedih yang berat dan jiwa yang membara dalam perjalanan Sam merenungkan apa yang telah terjadi di depan matanya itu. Sekejab telah merubahnya dari anak yang tidak tau apa-apa tentang negeri dan anak yang tidak mau tahu menahu dengan perjuangan kini menjadi anak yang berjiwa nasionalis dan yang ingin memperjuangkan kemerdekaan pribumi. Dalam perjalanan, Sam melantunkan nyayian senjah:

Saah ku witumou sasengkotan, tia mou manggenang-genang sayang, lengsoputih sinujian ngaranta, indono kaliuran kariaku, oh sayang, oh sayang, oh sayang indono kaliuran kariaku, tia mou, tia mou, tia mou sumero mowalina karia ku. (bercerita tentang seorang sahabat 'karia' sangat baik yang telah pergi)

Sambil meneteskan air mata Sam mengulang-ulang kembali nyanyian ini hingga tiba ditempat persembunyian warga di sebelah timur gunung Kamintong. Setibahnya di markas yang dijuluki oleh orang pelarian nama tempat itu adalah Kampung Wowo 'kampung bisu' karena sampai saat ini belum terlacak oleh Belanda. enam jam perjalanannya dari desa Eris tempat dimana kuda hitam perkasa om Alo dititipkan hingga sampai dikampung Wowo.

  • Isi pesan dari rantang dan ubi

Sam, diperhadapkan lagi-lagi dengan segorombolan orang yang membawa obor dari dalam hutan dan karena hari sudah mulai malam jam enam sore, cahaya matahari sudah ditutupi oleh pepohonan lebat, Sam tidak dapat melihat dengan jelas lagi dan memilih diam mati kutu disergap segerombolan orang itu. oh untungnya mereka adalah penjaga yang ditugaskan untuk menjaga pintu depan kampung Wowo, salah seorang langsung mengenal Sam dan berkata "ohh karia, ternyata kamu sudah bertumbuh besar".

Sam dengan ekspresi yang tiba-tiba berubah dari ketakutan menjadi gembira itu langsung memeluk Arnol yang adalah teman sekelasnya dulu "Arnol, apakabar kamu pun sudah tumbuh dewasa dan sudah makin kekar, lama tak jumpa" sahut Sam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun