"Omong kosong. Kau sonde sayang saya. Ko tipu saya, Jimi." Katanya sambil menangis. Kepalanya menelungkup di dada suaminya.
Jimi memeluk Rena dan terus berusaha menenangkan istrinya itu.
"percaya saya sayang. Saya terlalu sayang kau. Saya pi sebentar saja. abis itu saya langsung pulang kembali kalau su dapat cukup modal untuk kita buat usaha di sini. Dan kalau memang di sana bagus, saya akan datang ambil kau untuk tinggal di sana." kata Jimi.
"Sayang, kau boleh jalan. Tapi harus selalu kasih kabar e. kalau sampe hilang kabar. Saya pulang kembali pi saya punya orang tua." Kata Rena sambil terus menangis.
Setelah itu mereka langsung menuju ke rumah Tinus.
***
Seminggu setelah bertemu Tinus, pada pagi hari di rumah Jimi ada pemandangan yang berbeda. Jimi tampak memakai tas ransel berwarna hitam dan menjinjing beberapa barang bawaan. Sedangkan Rena terlihat menggandeng suaminya itu menuju sebuah pick up putih yang terparkir di depan rumah mereka.
"Jalan baik -- baik e sayang. Jang lupa sering -- sering kasih kabar kalu su tiba di sana". Kata Rena.
"Iya Sayang. Sayang ju baik -- baik di rumah. Nela nanti temani sayang di sini. Ada masalah apa -- apa di sini ju harus selalu info e." Kata jimi sambil mencium kening istrinya dan mengelus -- elus perut istrinya yang sudah bertambah besar.
Jimi menaruh barang -- barangnya di atas pick up yang sudah menunggu dan bergabung dengan beberapa orang yang sudah ada di atas pick up itu. Mereka pun berangkat ke tempat perantauan. Rena hanya bisa menatap mereka yang semakin menjauh dan menghilang di antara pepohonan.
Nela yang sudah beberapa hari tiba di rumah, mengajak Rena masuk ke dalam rumah. Rena dengan perut besarnya masuk ke dalam rumah sambil menyeka air mata. Ia sangat sedih. Ia merasa kehilangan semangat dan kesepian. Pria yang dia cintai dan menjadi satu -- satunya harapannya pergi ke negeri antah berantah. Negeri yang nun jauh di mata. Negeri yang menjanjikan berkat dan kutukan dalam waktu yang bersamaan.