Kalau dipikir-pikir, algoritma itu mirip psikolog. Bedanya, psikolog beneran pengin kita sembuh, sementara algoritma cuma pengin kita stay lebih lama.
Psikolog akan nanya: "Apa yang kamu rasain?" Lalu membantu cari jalan keluar. Tapi algoritma malah bilang: "Oh, kamu lagi sedih? Nih, aku kasih konten biar kamu makin sedih. Kamu suka? Scroll lagi ya."
Analogi gampangnya, algoritma itu kayak dokter palsu yang ngasih obat candu. Rasanya enak sesaat, tapi bikin kamu ketergantungan, nggak pernah benar-benar sembuh.
Dampak Psikologis yang Kita Anggap Biasa
Masalahnya, efek algoritma ini sering kita anggap sepele. Padahal, pelan-pelan bisa mengubah cara otak kita merespons dunia nyata.
Mood swing tanpa sebab: bangun pagi udah bad mood, padahal semalam nggak ada masalah apa-apa, cuma kebanyakan scroll konten random.
Phantom anxiety: deg-degan tiap ada notifikasi, atau bahkan ngerasa HP bergetar padahal nggak ada apa-apa.
Perbandingan sosial: makin sering lihat orang sukses, makin merasa hidup sendiri gagal.
Sulit fokus: otak jadi terbiasa dengan dopamine cepat dari scroll, tapi kesulitan menikmati hal-hal yang butuh proses panjang.
Kalau dipikir lagi, ini bukan cuma soal mental health individu. Algoritma udah berhasil "nge-hack" otak jutaan orang di seluruh dunia, bikin kita jadi konsumen emosi yang pasif.
Bisa Nggak Kita Balik Pegang Kendali?
Pertanyaan pentingnya:Â
apa kita bisa pegang kendali, atau memang algoritma yang atur feed kita?