Dalam rangka memperingati World Mental Health Day 10 Oktober, saya ingin berbagi sedikit keresahan sekaligus pengalaman pribadi terkait dengan dunia scrolling. Karena jujur, belakangan saya merasa algoritma medsos sering banget ngatur mood saya tanpa saya sadari.
Jam 2 pagi, saya lagi nggak bisa tidur, akhirnya buka medsos. Awalnya santai, cuma pengin lihat video kucing lucu biar hati adem. Eh, nggak sampai lima menit, feed saya berubah jadi curhatan orang, lanjut ke motivasi "kamu harus kerja keras biar nggak nyesel", lalu tiba-tiba lompat ke video di negara konflik yang bikin saya sedih.Â
Sudah dapat dipastikan, besok paginya mood saya udah berantakan duluan sebelum sempat sarapan. Sampai saya mikir:Â
sebenernya saya yang ngatur mood saya sendiri, atau algoritma yang lagi mainin emosi saya?
Tenggelam Dalam Pikiran Sendiri (Sumber: Pinterest/SonofGod)

Algoritma: Kurator Emosi Tanpa Kita Sadari
Kita sering mikir algoritma itu adalah mesin yang milih konten berdasarkan apa yang kita sukai. Padahal, lebih dari itu, algoritma bisa jadi kurator emosi.
Bayangin gini, kita lagi sedih. Karena beberapa kali nonton konten galau, trus feed jadi penuh dengan video nangis, kata-kata bijak tentang kehidupan, sampai musik melankolis. Hasilnya? Sedih yang kita rasain yang ada semakin dalam.
Juga, kalau kita lagi insecure soal penampilan, algoritma langsung kasih konten body goals, glowing skincare, atau flexing gaya hidup. Bukannya termotivasi, yang ada malah makin merasa hidup kita ada yang kurang.
Ini bukan sekadar asumsi. Menurut survei dari American Psychological Association (APA), fenomena doomscrolling, kebiasaan scroll berita atau konten negatif terus-menerus berhubungan langsung dengan naiknya kecemasan dan depresi pada pengguna media sosial.
Artinya, algoritma memang bisa "mengatur" suasana hati kita, baik kita sadar atau nggak.
Psikolog  Gadungan yang Nggak Punya Empati
Kalau dipikir-pikir, algoritma itu mirip psikolog. Bedanya, psikolog beneran pengin kita sembuh, sementara algoritma cuma pengin kita stay lebih lama.
Psikolog akan nanya: "Apa yang kamu rasain?" Lalu membantu cari jalan keluar. Tapi algoritma malah bilang: "Oh, kamu lagi sedih? Nih, aku kasih konten biar kamu makin sedih. Kamu suka? Scroll lagi ya."
Analogi gampangnya, algoritma itu kayak dokter palsu yang ngasih obat candu. Rasanya enak sesaat, tapi bikin kamu ketergantungan, nggak pernah benar-benar sembuh.
Dampak Psikologis yang Kita Anggap Biasa
Masalahnya, efek algoritma ini sering kita anggap sepele. Padahal, pelan-pelan bisa mengubah cara otak kita merespons dunia nyata.
Mood swing tanpa sebab: bangun pagi udah bad mood, padahal semalam nggak ada masalah apa-apa, cuma kebanyakan scroll konten random.
Phantom anxiety: deg-degan tiap ada notifikasi, atau bahkan ngerasa HP bergetar padahal nggak ada apa-apa.
Perbandingan sosial: makin sering lihat orang sukses, makin merasa hidup sendiri gagal.
Sulit fokus: otak jadi terbiasa dengan dopamine cepat dari scroll, tapi kesulitan menikmati hal-hal yang butuh proses panjang.
Kalau dipikir lagi, ini bukan cuma soal mental health individu. Algoritma udah berhasil "nge-hack" otak jutaan orang di seluruh dunia, bikin kita jadi konsumen emosi yang pasif.
Bisa Nggak Kita Balik Pegang Kendali?
Pertanyaan pentingnya:Â
apa kita bisa pegang kendali, atau memang algoritma yang atur feed kita?
Jawabannya: masih bisa asal mau. Bukan berarti harus delete semua akun medsos (walau itu pilihan valid), tapi setidaknya kita bisa mulai dengan langkah kecil:
Digital Diet
Sama kayak tubuh, otak juga butuh pola makan sehat. Bikin jam khusus buat scroll, jangan biarin tangan otomatis buka aplikasi tiap kali bosan.
Curate Your Feed
Algoritma cuma ngikutin apa yang kita kasih makan. Kalau sering klik konten edukasi, inspirasi, atau hal-hal positif, perlahan feed akan berubah lebih sehat.
Mindful Scrolling
Bedakan antara scroll buat cari hiburan, sama scroll tanpa arah yang bikin kecanduan. Kalau sadar lagi doomscrolling, stop sejenak, tarik napas, dan tutup aplikasi.
Reconnect Offline
Sesimpel ngobrol sama teman, jalan sore tanpa HP, atau nulis jurnal. Hal-hal kecil ini bisa jadi "penetral" efek algoritma.
Remote Control Itu Ada di Tangan Kita
Kalau dulu orang percaya mood dipengaruhi cuaca atau lingkungan sekitar, sekarang mood kita bisa diatur oleh barisan kode komputer yang nggak pernah tidur.
Algoritma nggak peduli kita bahagia atau nggak, yang penting kita terus klik, like, share, dan scroll.
Jadi, pertanyaannya balik ke kita, mau sampai kapan remote control mental health kita diserahkan ke layar HP?
World Mental Health Day tahun ini bisa jadi momen refleksi, bahwa menjaga kewarasan bukan hanya dengan meditasi atau journaling, tapi juga dengan berani mengambil kembali kendali dari algoritma yang selama ini diam-diam jadi psikolog gadungan kita.
Happy World Mental Health Day! Semoga kita bisa lebih sayang sama diri sendiri dan berani ngambil kembali kendali dari hal-hal yang sering bikin kewalahan, termasuk dunia scrolling.Â
Kalau Kompasianer sendiri gimana? Pernah nggak ngerasa mood-nya digerakin algoritma tanpa sadar?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI