Mengapa Kekuasaan Firaun Modern Lebih Ditakuti oleh Manusia?
Di zaman dahulu, Firaun adalah simbol kekuasaan absolut. Apa yang diucapkannya dianggap hukum, bahkan jika itu sekadar mimpi semalam. Ia mengklaim dirinya sebagai tuhan, dan rakyat Mesir---entah karena takut atau terlalu lelah untuk berpikir---mengangguk setuju. Namun yang mengejutkan adalah: ribuan tahun berlalu, Firaun telah jadi mumi, tapi ketakutan manusia kepada 'Firaun-Firaun baru' ternyata belum ikut dikuburkan.
Pertanyaannya: mengapa manusia---yang sebagian besar mengaku beriman kepada Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi---lebih takut kepada kekuasaan manusia yang terbatas, fana, dan penuh salah?
Apakah karena Tuhan tidak membagikan surat keputusan? Atau karena Tuhan tidak bisa mencabut jabatan kita dalam hitungan jam?
Mari kita jujur. Ketika seorang pejabat tinggi bersuara, kita mendengarkan. Ketika atasan bersin, kita buru-buru menyodorkan saputangan---bukan karena peduli, tapi karena takut dipindah ke daerah terpencil yang bahkan Google Maps pun menyerah mencarinya. Kita lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan keberkahan. Kita lebih takut ditegur bos daripada ditegur hati nurani.
Inilah ironi zaman modern: manusia yang mengaku modern, justru lebih tunduk pada struktur kekuasaan yang bersifat duniawi, meskipun tahu bahwa dunia ini hanya panggung sementara.
Dalam kitab-kitab suci, kisah Firaun adalah pelajaran besar tentang kesombongan, penindasan, dan kegagalan kekuasaan manusia menghadapi kehendak Ilahi. Tapi alih-alih mengambil pelajaran, kita justru menciptakan banyak replika Firaun dengan kostum dan gelar yang lebih canggih: direktur, jenderal, menteri, komisaris, bahkan influencer politik. Mereka tak perlu mengaku tuhan, cukup punya kuasa untuk mencabut tunjangan, memblokir akses, atau menyuruh buzzer bekerja, dan umat pun bergetar.
Mengapa takut kepada Sang Pencipta dianggap idealis, sedangkan takut kepada pejabat dianggap realistis? Apakah iman kita sekadar hiasan bio di media sosial? Apakah takwa hanya sebatas pembuka sambutan dalam rapat?
Firaun modern memang tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Tapi mereka menuntut kepatuhan mutlak, ketaatan buta, dan penghormatan tanpa syarat. Jika ada yang bertanya, mereka dicap radikal. Jika ada yang mengkritik, langsung dibungkam. Jika ada yang berpikir terlalu merdeka, maka dikatakan "melanggar etika".
Kita hidup dalam dunia yang paradoks: meskipun masjid, gereja, pura, dan vihara berdiri megah, namun ketakutan terbesar manusia bukan kepada akhirat, tapi kepada surat panggilan dari aparat. Kita menyebut diri bangsa religius, namun nilai spiritual dikalahkan oleh nilai tukar rupiah dan relasi politik.
Apakah kita lupa bahwa hidup ini akan diakhiri oleh maut, bukan oleh mutasi?