Mohon tunggu...
Ronald Pasir
Ronald Pasir Mohon Tunggu... Economist, Stock trader, financial adviser, freelance writer

Hobi Mancing dilaut, menyukai humor, open minded, peniti jalan kehidupan. Suka menulis, percaya bahwa kata-kata bisa menjadi senjata nurani. Menulis bukan untuk menjadi populer, tapi untuk membela yang tertindas dan menggugah yang terlena. Diam di tengah ketidakadilan adalah bentuk pengkhianatan terhadap kemanusiaan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mengapa Manusia Lebih Takut Kepada Kekuasaan Firaun Modern?

11 Juni 2025   08:39 Diperbarui: 11 Juni 2025   08:39 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa Kekuasaan Firaun Modern Lebih Ditakuti oleh Manusia?

Di zaman dahulu, Firaun adalah simbol kekuasaan absolut. Apa yang diucapkannya dianggap hukum, bahkan jika itu sekadar mimpi semalam. Ia mengklaim dirinya sebagai tuhan, dan rakyat Mesir---entah karena takut atau terlalu lelah untuk berpikir---mengangguk setuju. Namun yang mengejutkan adalah: ribuan tahun berlalu, Firaun telah jadi mumi, tapi ketakutan manusia kepada 'Firaun-Firaun baru' ternyata belum ikut dikuburkan.

Pertanyaannya: mengapa manusia---yang sebagian besar mengaku beriman kepada Tuhan Sang Pencipta langit dan bumi---lebih takut kepada kekuasaan manusia yang terbatas, fana, dan penuh salah?

Apakah karena Tuhan tidak membagikan surat keputusan? Atau karena Tuhan tidak bisa mencabut jabatan kita dalam hitungan jam?

Mari kita jujur. Ketika seorang pejabat tinggi bersuara, kita mendengarkan. Ketika atasan bersin, kita buru-buru menyodorkan saputangan---bukan karena peduli, tapi karena takut dipindah ke daerah terpencil yang bahkan Google Maps pun menyerah mencarinya. Kita lebih takut kehilangan jabatan daripada kehilangan keberkahan. Kita lebih takut ditegur bos daripada ditegur hati nurani.

Inilah ironi zaman modern: manusia yang mengaku modern, justru lebih tunduk pada struktur kekuasaan yang bersifat duniawi, meskipun tahu bahwa dunia ini hanya panggung sementara.

Dalam kitab-kitab suci, kisah Firaun adalah pelajaran besar tentang kesombongan, penindasan, dan kegagalan kekuasaan manusia menghadapi kehendak Ilahi. Tapi alih-alih mengambil pelajaran, kita justru menciptakan banyak replika Firaun dengan kostum dan gelar yang lebih canggih: direktur, jenderal, menteri, komisaris, bahkan influencer politik. Mereka tak perlu mengaku tuhan, cukup punya kuasa untuk mencabut tunjangan, memblokir akses, atau menyuruh buzzer bekerja, dan umat pun bergetar.

Mengapa takut kepada Sang Pencipta dianggap idealis, sedangkan takut kepada pejabat dianggap realistis? Apakah iman kita sekadar hiasan bio di media sosial? Apakah takwa hanya sebatas pembuka sambutan dalam rapat?

Firaun modern memang tidak mengklaim dirinya sebagai Tuhan. Tapi mereka menuntut kepatuhan mutlak, ketaatan buta, dan penghormatan tanpa syarat. Jika ada yang bertanya, mereka dicap radikal. Jika ada yang mengkritik, langsung dibungkam. Jika ada yang berpikir terlalu merdeka, maka dikatakan "melanggar etika".

Kita hidup dalam dunia yang paradoks: meskipun masjid, gereja, pura, dan vihara berdiri megah, namun ketakutan terbesar manusia bukan kepada akhirat, tapi kepada surat panggilan dari aparat. Kita menyebut diri bangsa religius, namun nilai spiritual dikalahkan oleh nilai tukar rupiah dan relasi politik.

Apakah kita lupa bahwa hidup ini akan diakhiri oleh maut, bukan oleh mutasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun