Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Undangan untuk Orang-orang Jelek | Cerpen Pesta Pena

4 Maret 2025   09:38 Diperbarui: 5 Maret 2025   11:13 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Langit Jakarta tiba-tiba mendung, padahal tadi matahari sangat cerah. Hal itu yang membuatku refleks membuka tirai jendela kaca tempatku bekerja untuk memastikan. Matahari memang meredup, tetapi ada hal lain yang tak kalah mengejutkan. Langit dipenuhi oleh benda kecil yang melayang-layang di udara. Ada perayaankah?

Ternyata bukan hanya aku yang menyadari hal ini. Rekan-rekan kerjaku juga tak kalah heboh bahkan berlarian turun ke lantai dasar. Masih tak beranjak dari tempatku berdiri, aku melihat orang-orang mulai memenuhi jalanan. Tiba-tiba banyak orang berkumpul seperti sedang pawai atau seperti sedang menyambut orang besar.

Aku masih mengamat-amati sebenarnya benda apa yang mengundang kehebohan ini. Dari kejauhan seperti burung-burung walet yang kegirangan menyambut hujan, sedangkan dari jarak yang dekat seperti kertas. Kertas sebanyak ini? Untuk apa dihambur-hamburkan begitu dan mengotori seisi kota?

***

Kamu merasa jelek? Undangan ini khusus buat kamu.

Abaikan jika kamu sudah merasa tampan dan cantik

Sampai bertemu di Tugu Monas

Seorang reporter teve membacakan kertas yang ada di tangannya. Rupanya kertas itu adalah semacam surat undangan dari seseorang atau mungkin sebuah perusahaan dengan memilih cara tersebut sebagai teknik pemasaran mereka. Sampai berita tersebut ditayangkan, belum diketahui siapa dibalik pembuat kehebohan tersebut. Yang pasti, momen ini berhasil menyingkirkan kepenatan. Undangan tersebut menjadi trending topic di kantor maupun media.

"Bagaimana, Mel? Kau ikut, kan?" Resti menyenggol.

"Buat apa? Kayak kurang kerjaan aja," kataku cuek.

"Emang lo enggak penasaran? Ini lagi viral, loh."

Aku yang memang dasar tidak begitu tertarik dengan gimik-gimik tidak penting buat numpang viral hanya menanggapi Risa seadanya. Namun, bukan Risa namanya kalau gampang menyerah.

"Heh, Mel. Gimana kalau lo ubah cara pandang lo deh, nih ya, kalau ini memang cuma teknik pemasaran, harusnya kita bisa belajar, dong. Nih baca deh tulisannya," Resti menyodorkan undangan yang ia bawa kemudian membacakan kalimat seperti yang dibacakan oleh reporter tadi.

Di bagian ini Resti ada benarnya. Terlebih Perusahaan kami bergerak di bidang kecantikan yang tidak bakalan jauh dari produk kosmetik, mungkin ini bisa dijadikan pelajaran.

"Nah, kalau ngomongin pekerjaan aja, lo langsung connect." Resti menyentil lenganku dengan bibir manyun.

"Tapi aku cantik, gimana dong?" Aku berusaha menanggapi Resti dengan candaan.

"Heh? Gimana, gimana?" Resti terpancing juga, "Gue akui lo sat set-sat set dan bisa diandalkan kalau masalah kerjaan, tetapi masalah kecantikan, gue masih di atas. Iya, enggak, sis? Resti berusaha mencari validasi kepada rekan yang lain.

Aku tertawa. Resti memang begitu. Selain cantik, Ia kelihatan centil, tetapi humoris. Itu juga yang bikin Resti disenangi banyak orang di sini. Mulutnya yang cerewet juga menjadi hiburan tersendiri di kantor ini.

***

Benar kata Resti. Undangan misterius ini berhasil membuat heboh se-Indonesia. Lapangan Medan Merdeka tiba-tiba berubah menjadi lautan manusia. Bukan hanya orang Jakarta yang memenuhi tugu Monas, dari luar kota bahkan jauh-jauh dari wilayah Timur dan Barat Indonesia.

Aku dan Resti bersama teman-teman yang lain harus bersusah payah menembus kerumunan dan mencari barisan yang teratur untuk mengantre. Setelah dengan perjuangan keras, kelihatan juga apa yang orang-orang cari. Di semua sisi pelataran bawah atau cawan tugu Monas telah tertutupi pintu-pintu yang berdiri dengan rapi sampai menutupi pintu masuk Museum Sejarah di lantai dasar. Pintu-pintu memiliki ukuran yang lebih besar dari pintu biasa. Kesannya antik dengan warna cokelat yang mengkilat serta dihiasi motif bunga-bunga estetik. Yang tak kalah menambah kesan misterius adalah para penjaga pintu dan penyambut tamu yang semuanya menggunakan topeng.

"Kalian sudah siap?" tanya salah satu penyambut tamu.

Aku menatap Resti. Ia begitu bersemangat sama seperti yang lain. Aku hanya mengangguk ragu.

"Baiklah, silakan tuliskan nama lengkap kalian, usia dan cap jari kalian di surat pernyataan ini untuk memastikan bahwa kalian memang merasa jelek dan yakin untuk masuk ke dalam pintu itu."

Sebenarnya aku merasa aneh. Kami harus memastikan diri kami jelek? Aku hampir tersenyum dengan isi surat pernyataan ini, tetapi nada suara para penjaga itu terdengar serius. Resti bisa tersenyum dengan lebar karena mungkin ia tidak begitu ambil pusing. Dengan keyakinan penuh ia melakukan instrukssi dengan baik.

Setelah dipersilakan Resti langsung menarik tanganku menuju pintu. Jujur, serasa ada yang mengganjal di hatiku, terlebih ketika tak sengaja menangkap garis senyum tak wajar dari para penjaga pintu. Terlambat. Aku, Resti, dan yang lainnya sudah masuk ke dalam pintu. Pintu langsung tertutup dan seketika itu Resti dengan yang lain lenyap.

***

Ini jebakan.

"Resti!" Aku memekik.

Aku melihat Resti dan aku merasa ngeri. Ia mencakar wajahnya sendiri sampai kulitnya terkelupas lalu mencakarnya lagi saat kulit wajahnya kembali utuh. Kengerian itu terus berulang dan berhasil pula membuatku muntah berulang kali. Aku ingin menghentikannya, tetapi aku tidak punya ide sama sekali. Menghancurkan cermin ini bisa jadi mencelakakan Resti. Tidak ada jaminan bawa ia akan keluar dari cermin tersebut.

Berbeda dengan Resti, Mira salah satu dari kami justru sebaliknya. Luka bakar di wajahnya lenyap diganti dengan wajah mulus dan lebih cerah dari biasanya. Di dalam cermin ia mengelus-elus wajahnya dan mengagumi tubuhnya yang tanpa busana.

"Hai, kamu sedang bingung tampaknya, ya?"

Aku langsung berbalik ke arah suara yang ada di belakangku. Mataku menangkap seorang wanita yang entah bagaimana caranya ia bisa keluar dari cermin. Ia mengawaskan gaunnya yang panjang supaya tidak terinjak olehnya. Ia tersenyum melihatku sedangkan aku terkejut setengah mati.

"Tidak perlu kaget begitu. Kamu tahu peraturannya." Ia tersenyum.

"Kamu siapa? Ada apa ini?" gertakku.

"Kamu sungguh tidak tahu?" Wanita itu mengelilingiku dan ingin menyentuhku. Aku menepisnya dan berusaha menjauh dari wanita itu.

"Katakan saja, jangan bertele-tele." Entah keberanian dari mana, takutku malah berubah menjadi kemarahan.

"Kamu pemarah rupanya. Padahal kamu sedang berhadapan dengan ratu di tempat ini. Harusnya kamu bersujud di kakiku."

Akupun menangkap maksud wanita ini. Gaun yang ia pakai memang seperti seorang ratu. Mahkota di kepalanya punya motif yang mirip dengan pintu-pintu masuk yang kini juga lenyap entah ke mana.

"Melati, kamu mau aman di sini seperti temanmu yang satu itu?" Ia menunjuk cermin berisi Mira. Mira sekarang sibuk mengagumi dirinya yang sekarang dibalut oleh gaun bak seorang putri.  "Nanti kau juga akan tinggal di dalam cerminmu sendiri."

"Tidak!" ketusku, "Aku tidak mau."

Wanita itu tertawa.

"Jangan pura-pura bodoh, Melati. Ini adalah duniaku. Peraturanku berlaku di sini dan kalian semua menyetujuinya."

"Tidak. Aku tidak pernah menyetujui tinggal di sini."

Wanita itu tertawa semakin keras. Aku merinding. Aku seperti melihat seorang penyihir ketimbang seorang ratu.

"Kau tidak ingat? Dunia ini hanya untuk orang jelek, Melati. Kau dan temanmu itu..." Ia menunjuk Resti. "Kalian melanggar aturannya."

Aku menggeleng-geleng. Otakku tidak bisa mencerna perkataan wanita ini.

Wanita itu menyentuh dahinya berlagak pusing. "Baik, akan aku jelaskan." Wanita itu mengibaskan gaunnya dan memasang pose tegak dan melempar senyum walaupun itu bukan senyum yang ramah. "Aku Ratu Miranda. Ratu Kerajaan Cermin. Kau berada di wilayah kekuasaanku. Terima kasih sudah menerima undanganku."

"Lalu apa maksud semua ini?" todongku.

"Kamu tidak perlu menyela, aku pasti jelaskan. Semua yang kau saksikan ini sebenarnya sederhana. Kalian menerima undangan lalu menghadirinya. Ingat, ini untuk orang-orang yang dipandang jelek di duniamu bukan untuk orang yang dinilai cantik sepertimu. Tapi ya... karena sudah telanjur, kami hanya perlu mengambil kecantikan dan ketampanan orang-orang yang menyombongkan itu untuk orang-orang yang dipandang jelek tadi. Tujuan kami mulia, bukan? Dunia kalian sudah cukup jahat bagi mereka. Kami hanya mengajak kalian bertukar posisi saja."

"Tapi... Kau tidak bisa menyamaratakan semua orang. Tidak semua orang memandang fisik. Di luar sana banyak orang yang tulus, di luar sana...,"

"Tapi kamu bukan salah satunya," potong Ratu Miranda.

Aku membisu.

"Sayangnya, kami tidak hanya melihat kecantikan dari wajah dan fisik saja, Melati. Wajah boleh cantik, tetapi sayangnya tidak selalu diikuti oleh hati. Tugas kami adalah mengurangi orang-orang seperti itu. Salah satunya adalah kamu. Aku tahu kemunafikanmu, Melati. Sebenarnya kamu tidak benar-benar menganggap perempuan itu sebagai temanmu, kan?" Ia menunjuk Mira. "Oh, iya, jangan lupa, kau juga dulu suka merundung perempuan lain karena mereka tak secantik dirimu dan yang berusaha menyaingi kecantikanmu tidak kau biarkan lolos. Ingat?"

Aku menelan ludah. Aku tidak bisa menyangkal apa yang dikatakan oleh Ratu Miranda. Rasa bersalah menyerangku dan merobohkan kepercayaan diriku. Aku tidak bisa berkutik.

"Kalau kamu sudah mengerti, silakan nikmati duniamu yang baru di sini."

Ratu Miranda mengangkat tangannya. Mulutnya mengeluarkan kata-kata yang tidak kumengerti. Beberapa saat kemudian, sebuah cermin yang tingginya hampir menyamai tinggiku tiba-tiba muncul.

"Terima kasih sudah terlahir cantik, Melati! Ha...ha...ha..."

Aku merasakan hawa panas merayap ditubuhku, semakin panas hingga rasanya kulitku mengelupas. Ternyata cermin yang tercipta dari mantra Ratu Miranda yang menghisapku. Aku berteriak sejadi-jadinya karena zat yang keluar dari cermin itu sesaat lagi akan mengulitiku hidup-hidup. Sama seperti Resti, mungkin sekarang giliranku untuk merasakan penderitaannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun