Mohon tunggu...
Ramyi Prayogani
Ramyi Prayogani Mohon Tunggu... Human Resources - Penggiat Sosial dan Penulis Bebas

Pembelajar , Penggiat Sosial dan Penulis Bebas

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Apakah Lockdown Membawa Bencana?

28 Maret 2020   04:10 Diperbarui: 6 April 2020   18:52 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: fluxmagazine.com

Hari jumat tanggal 27 Maret 2020 , terjadi lonjakan pasien positif covid19 , hingga 1000 lebih penderita, meningkat 107 pasien. Ini lonjakan jumlah pasien covid19 terbanyak, sejak diumumkannya masuknya virus ini diindonesia. 

Tidak heran banyak orang yang khawatir Indonesia akan mirip dengan Italy, Spanyol atau Iran, yang jumlah korbannya mencapai ribuan yang meninggal. Pertanyaannya apakah metode yang digunakan pemerintah untuk menghentikan laju penularan virus convid19 tidak berjalan selama ini?.

Sebenarnya kalau diperhatikan metode negara negara lain dalam menangani virus Corona, berjalan atau tidaknya, pemerintah tetap harus melakukan lockdown, karena tidak ada negara didunia yang tidak melakukan lockdown dalam penanganan virus covid19. Hanya ada beberapa negara saja yang berhasil menangani virus ini tanpa lockdown. 

Tetapi karakter negara tersebut sangat beda , baik dari jumlah penduduk, pendidikan maupun kebiasaan masyarakatnya. 

Salah satu contoh Singapura , Korsel, dan Jepang ,selain jumlah masyarakat yang tidak sebesar Indonesia, mereka memiliki masyarakat yang mempunyai kesadaran tinggi serta teredukasi dengan baik. Karena metode social distancing membutuhkan kesadaran yang tinggi dari masyarakatnya.

Mungkin saat inilah pemerintah harus mulai mempertimbangkan karantina wilayah atau lockdown teritorial sesuai UU no 6 tahun 2018. 

Pertanyaannya apa yang menjadi kekhawatiran pemerintah , untuk menjalankan kebijakan lockdown?. Dibawah ini mungkin beberapa alasan yang menjadikan lockdown bukan pilihan pemerintah.

1. Adat dan kebiasaan masyarakat Indonesia yang bersifat komunal, gotongroyong, dan agamis. Sehingga karena faktor tersebutlah, diperkirakan lockdown wilayah akan menimbulkan keresahan bahkan penentangan.

Tapi apakah sudah pasti demikian?. Kalau melihat berita satu atau dua2 minggu yang lalu tentang himbauan untuk tidak sholat jamaah dimasjid serta sholat Jumat, maka sebenarnya tidaklah perlu dikhawatirkan, karena terbukti masyarakat Indonesia banyak yang mengikuti himbauan pemerintah untuk tidak sholat Jumat dan sholat berjamaah di masjid. 

Padahal kedua kegiatan tersebut sangat dijunjung tinggi dimasyarakat Indonesia, yang mayoritas beragama Islam. Artinya pemerintah tidak perlu khawatir ada perlawanan karena masalah adat kebiasaan, sebab untuk masalah ritual yang sakral saja mereka taat pada himbauan pemerintah , apalagi cuman menghentikan kebiasaan sosial diluar keagamaan.

2. Terjadi kenaikan harga barang kebutuhan sehingga meresahkan masyarakat miskin.

Hal itu tidak bisa dihindari , saat inipun harga barang mulai naik. Karena bukan hanya takut ada lockdown tapi masyarakat juga belum percaya pada pemerintah dalam menangani penyebaran virus Convid19, baik dengan social distancing dan control Border. Terbukti ketika presiden mengumumkan no lockdown , tidak menghentikan kenaikan harga barang.

Sehingga lebih baik mengumumkan ke seluruh rakyat Indonesia, bahwa negara dalam keadaan perang dengan virus Corona dan membutuhkan lockdown wilayah dengan parameter yang jelas. 

Bisa jadi itu meredam kenaikan harga barang pada wilayah yang tidak masuk dalam parameter lockdown. Sekaligus sebagai efek kejut bagi masyarakat di wilayah lain yang tidak dikarantina agar taat pada social distancing yang sudah ditetapkan pemerintah.

3. Terjadi kerusuhan dan penjarahan oleh masyarakat yang tinggal di wilayah lockdown.

Kerusuhan terjadi bila kebutuhan hidup mereka tidak terpenuhi, tapi kalau pemerintah menjamin kebutuhan hidup mereka , maka tidak ada alasan untuk rusuh. Apalagi kalau disaat mengawasi wilayah lockdown melibatkan personel militer dalam jumlah besar.

4. Budgeting yang besar beresiko APBN jebol.

APBN jebol bisa terjadi bila lockdown bersifat nasional atau propinsi. Karena dalam UU no 6 tahun 2018 , pasal 55 , pemerintah menjamin seluruh kebutuhan dasar warga yang ada di wilayah karantina. 

Tetapi kalau karantina wilayah hanya melibatkan wilayah RT, RW atau kecamatan, masih bisa diatasi oleh pemerintah, itu bisa dianggarkan lewat dana bencana, pengurangan dana desa , atau dana CSR BUMN. 

Apalagi jumlah pasien Corona berkisar 700 orang saja. Dengan asumsi karantina melibatkan100 ribu Kk keluarga miskin, dan masing masing diberi bantuan sembako senilai 150 ribu selama 14 hari karantina.

Maka hanya dibutuhkan kurang lebih 300 milyar saja, termasuk logistik untuk militer dan relawan, yang menjaga dan melayani warga terdampak. Jumlah 100 ribu KK keluarga miskin itu , kurang lebih setara dengan jumlah KK di 10 kelurahan DKI Jakarta. Kalau dipropinsi lain bisa bisa itu setara dengan 15 atau 20 kelurahan.

5. Terjadi kelangkaan bahan pangan, barang dan jasa dikota yang berada di wilayah karantina atau lockdown.
Hal ini bisa terjadi kalau seluruh wilayah kota dilockdown, tetapi kalau hanya beberapa kelurahan, mungkin keadaannya tidak separah yang dibayangkan.

6. Membuat keberatan para pengusaha karena harus meliburkan karyawan tetapi tetap harus memberi gaji.
Inipun bisa disiasati dengan mengganti waktu libur mereka disaat karantina dengan waktu yang lain. Suatu misal mengurangi libur lebaran dan libur nasional yang lain , khusus tahun ini.

7. Mengganggu pendapatan masyarakat yang pekerjaannya bersifat harian.
Nah disinilah peran APBN , dana bencana alam, dana sosial , dan dana desa , yang khusus tahun 2020 alokasi utama pada pemberian santunan senilai UMR harian pada masyarakat terdampak karantina tersebut. 

Apabila diperlukan lebih baik pemerintah juga meniadakan gaji ke13 atau uang Hari Raya para ASN khusus tahun 2020 ini, untuk dialihkan membantu para pedagang asongan, driver ojol , pedagang kaki lima yang terdampak oleh kebijakan lockdown.

Pemerintah harus secepatnya membuat parameter yang jelas untuk mengukur keberhasilan dari metode yang digunakan sekarang. Apabila memang cara physical distancing tidak berhasil, tidak ada salahnya untuk mencoba karantina wilayah yang dianggap epicentrum penyebaran virus. Jangan sampai terlambat , korban akan terus bertambah seiring berjalannya waktu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun