"Mungkin kita harus siapin kemungkinan terburuk, Bu. Mungkin Nayla harus dirawat di rumah saja..."
Ibu Nayla menangis dalam diam.
Namun malam itu, datang kabar mengejutkan. Salah satu teman Nayla, Via, mengirimkan pesan:
"Tante, ini ada dana bantuan dari komunitas mahasiswa dan relawan alumni. Mereka ngadain lelang dan donasi. Total bantuannya udah hampir cukup untuk biaya pengobatan Nayla beberapa minggu ke depan."
Ibunya terpaku. Air matanya menetes perlahan. Bukan karena sedih, tapi karena haru---karena di saat mereka hampir menyerah, ada tangan-tangan tak terlihat yang datang menyentuh hati mereka.
---
Di kamar rumah sakit, Nayla menerima sepucuk surat tanpa nama. Di dalamnya hanya ada tulisan tangan:
"Cinta itu kadang nggak perlu diingat untuk dirasa. Kamu boleh lupa aku, Nay. Tapi aku nggak akan pernah lupa alasan kenapa aku tetap di sini."
Nayla membacanya berkali-kali. Jantungnya berdebar. Ia tahu betul siapa pengirimnya, meski nama tak tercantum. Dan untuk pertama kalinya... ia mengaku pada dirinya sendiri:
"Aku takut kehilangan Raka."
Kata-kata itu ia bisikkan di dalam hati, tapi terasa nyaring di dada.
---
Beberapa hari kemudian, Nayla melihat brosur penggalangan dana di media sosial. Di sana, ada foto lamanya bersama Raka, saat mereka masih aktif jadi relawan. Ada keterangan: "Untuk sahabat kami: yang dulu memberi, kini saatnya menerima."