"Ka... ini semua salahku ya?"
Raka mematikan ponsel Nayla. "Udah. Jangan pikirin mereka. Kamu fokus sembuh. Biar aku yang selesain semuanya."
Hari itu, Raka menemui Tania langsung. "Cinta itu ngasih ruang buat orang lain bahagia... bahkan kalau itu bukan sama kita."
Kembali ke rumah sakit, Nayla memutuskan satu hal penting. Ia pindah ke ruang rawat biasa dan mulai menjual barang pribadi untuk membantu orangtuanya.
Dan suatu malam, Nayla menatap Raka. "Ka... kamu tahu? Aku mungkin belum bisa bilang 'aku cinta kamu'... tapi aku tahu satu hal."
"Apa?" tanya Raka, matanya berbinar.
"Aku gak mau kehilangan kamu untuk kedua kalinya."
Raka menggenggam tangan Nayla dengan kuat. "Kamu nggak akan."
--
Hujan turun rintik-rintik sore itu, membasahi kaca jendela kamar rumah sakit yang kini tak lagi terasa asing bagi Nayla. Sudah berminggu-minggu ia tinggal di ruang rawat biasa---bukan karena ia sembuh sepenuhnya, tapi karena keluarganya sudah tak mampu membayar kamar VIP.
Namun, di balik kesederhanaan itu, ada rasa hangat yang mulai tumbuh di dadanya. Rasa yang tak lagi sekadar bingung atau syukur karena hidup, tapi... sesuatu yang lebih dalam.