Raka menggenggam tangan Nayla. Hangat, namun penuh getar.
"Kamu nggak aneh. Kamu indah... dengan caramu sendiri."
Nayla menoleh, sedikit tersenyum. "Kalau begitu, kenapa kamu dekat dengan Tania?"
Raka terdiam. Pertanyaan yang sama terus ia tanyakan pada dirinya sendiri.
"Aku bingung, Nay. Saat kamu mulai menjauh, Tania hadir. Aku pikir, mungkin aku bisa belajar mencintainya. Tapi ternyata... hatiku belum selesai sama kamu."
Nayla mengalihkan pandangan. "Lalu sekarang?"
"Sekarang aku tahu... perasaan ini bukan sesuatu yang bisa dialihkan begitu saja. Kamu tetap yang paling berarti."
Tiba-tiba, Nayla berdiri. Matanya menatap langit yang mulai gelap.
"Aku sakit, Raka."
Raka berdiri kaget. "Sakit? Maksudmu?"
Nayla tersenyum pahit. "Aku divonis punya tumor otak. Itu sebabnya aku sering pusing, mudah lelah, dan kadang... lupa."