Langit sore tampak mendung saat Raka melangkah menuju taman belakang sekolah. Jam di tangannya menunjukkan pukul 16.55. Ia menunggu dengan jantung berdebar. Di bawah pohon besar yang biasa menjadi tempat Nayla duduk membaca, ia berdiri dalam diam. Lima menit terasa seperti seabad.
Dan akhirnya, Nayla datang.
Dengan rambut dikuncir dan mengenakan hoodie abu-abu yang kebesaran, ia berjalan pelan, membawa satu buku di tangannya. Tatapannya kosong, tapi dalam.
"Terima kasih sudah datang," katanya lirih.
"Aku... selalu ingin ketemu kamu, Nay."
Mereka duduk. Diam. Angin sore menyibakkan dedaunan kering di bawah kaki mereka. Suasana canggung. Lalu Nayla membuka suara.
"Aku suka kamu, Raka. Bahkan saat aku tahu kamu mungkin suka orang lain."
Raka menunduk. "Aku juga... nggak bisa bohong. Perasaanku ke kamu nyata, Nay. Tapi semuanya jadi rumit."
Nayla menghela napas, matanya mulai berkaca.
"Aku tahu Tania jauh lebih sempurna. Dia cantik, supel, semua orang suka dia. Dan aku? Aku cuma Nayla yang aneh, pendiam, nggak pandai mengekspresikan perasaan."
Raka menggenggam tangan Nayla. Hangat, namun penuh getar.
"Kamu nggak aneh. Kamu indah... dengan caramu sendiri."
Nayla menoleh, sedikit tersenyum. "Kalau begitu, kenapa kamu dekat dengan Tania?"
Raka terdiam. Pertanyaan yang sama terus ia tanyakan pada dirinya sendiri.
"Aku bingung, Nay. Saat kamu mulai menjauh, Tania hadir. Aku pikir, mungkin aku bisa belajar mencintainya. Tapi ternyata... hatiku belum selesai sama kamu."
Nayla mengalihkan pandangan. "Lalu sekarang?"
"Sekarang aku tahu... perasaan ini bukan sesuatu yang bisa dialihkan begitu saja. Kamu tetap yang paling berarti."
Tiba-tiba, Nayla berdiri. Matanya menatap langit yang mulai gelap.
"Aku sakit, Raka."
Raka berdiri kaget. "Sakit? Maksudmu?"
Nayla tersenyum pahit. "Aku divonis punya tumor otak. Itu sebabnya aku sering pusing, mudah lelah, dan kadang... lupa."
Dunia Raka runtuh seketika. Ia menatap Nayla yang kini gemetar menahan tangis.
"Aku nggak mau kamu menyayangiku karena aku sakit. Itu kenapa aku menjauh. Aku nggak mau kamu terluka karena aku."
Raka memeluk Nayla. Erat.
"Biar aku yang tentukan, Nay. Kalau aku harus terluka, maka aku ingin itu karena mencintaimu."
Air mata Nayla tumpah. Untuk pertama kalinya, ia menangis dalam pelukan Raka.
Tapi waktu terus berjalan, dan penyakit Nayla bukan sesuatu yang bisa diabaikan.
Cinta mereka baru saja dimulai, tapi bayang-bayang perpisahan sudah mulai menghantui.
TO BE CONTINUED...
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI