Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

🎓Education: Law 🏤Classified as Middle–Upper Class in Indonesia, with assets ranging from US$169,420–1 million (approx. Rp 2.64–16 billion), based on CNBC criteria. 🏧Among the top 0.001% of Indonesians with an annual income of Rp 300–500 million (SPT 1770 S 2024) 👔Career: Employee at Giant Holding Company (since Feb 2004–Present), side job as Independent Property-Asset Management Consultant 📲Volunteer Work: Previously engaged with BaraJP, Kawal Pemilu, as well as the Prabowo–Sandi and Anies–Muhaimin campaign teams. ⚖️Note: I only connect with writers who focus on ideas and ideals, not those who are obsessed with K-Rewards.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Filsafat Logika | Filsafat Hukum Episode 8: Positivisme Hukum

4 Oktober 2025   10:23 Diperbarui: 4 Oktober 2025   11:58 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

IV.3.1. Pemisahan Hukum dan Moral: Separation Thesis

Hart membedakan dengan tegas antara law as it is (hukum sebagaimana adanya) dan law as it ought to be (hukum sebagaimana seharusnya). Ia mengkritik tradisi hukum alam yang beranggapan bahwa hukum yang tidak adil bukanlah hukum. Bagi Hart, hukum yang tidak adil tetaplah hukum, sejauh ia memenuhi kriteria validitas sistem hukum yang berlaku. Misalnya, undang-undang diskriminatif atau tirani tetap sah secara hukum, meskipun secara moral dipersoalkan.

Namun, Hart menolak pandangan absolut bahwa hukum sepenuhnya terlepas dari moralitas. Menurutnya, ada keterkaitan tak terelakkan antara hukum dan moral, terutama karena hukum harus berfungsi dalam masyarakat manusia yang memiliki kebutuhan tertentu.

IV.3.2. Minimum Content of Natural Law

Hart memperkenalkan ide “minimum content of natural law” sebagai jembatan antara positivisme dan realitas moral. Ia berpendapat bahwa ada kondisi faktual universal dalam kehidupan manusia yang memaksa hukum untuk memiliki isi moral minimum. Jika hukum sepenuhnya mengabaikan kondisi-kondisi ini, ia tidak akan berfungsi sebagai hukum.

Hart menyebut lima kondisi utama:

  • Kerentanan manusia: manusia pada dasarnya rentan secara fisik. Karena itu, hukum harus melindungi mereka dari kekerasan, pembunuhan, dan ancaman fisik. Tanpa perlindungan ini, masyarakat tidak dapat bertahan.
  • Kesamaan relatif: walaupun ada variasi kemampuan, manusia relatif setara dalam kekuatan fisik dan kecerdasan. Tidak ada kelompok yang bisa mendominasi sepenuhnya tanpa batas. Karena itu, hukum harus mengatur interaksi agar konflik tidak merusak kohesi sosial.
  • Altruisme terbatas: manusia memiliki kecenderungan untuk mementingkan diri sendiri. Oleh karena itu, hukum harus membatasi egoisme individu dan mendorong aturan yang memungkinkan kerja sama.
  • Keterbatasan sumber daya: dunia tidak menyediakan segala sesuatu dalam kelimpahan. Karena sumber daya terbatas, hukum harus mengatur distribusi dan kepemilikan agar kehidupan sosial tidak jatuh ke dalam anarki.
  • Keterbatasan daya dan pengertian manusia: manusia tidak serba tahu dan serba bisa. Oleh karena itu, hukum harus menetapkan aturan yang jelas dan dapat dipahami agar orang dapat menyesuaikan perilaku mereka.

Kelima kondisi ini menunjukkan bahwa ada isi minimum moral dalam setiap sistem hukum, sekalipun sistem itu sangat berbeda secara budaya. Tanpa perlindungan dasar terhadap kehidupan, keadilan, dan kerja sama, hukum tidak mungkin bertahan. Dengan kata lain, meskipun Hart seorang positivis, ia mengakui dimensi “hukum alam” dalam arti empiris-pragmatis.

IV.3.3. Hart vs Natural Law Tradisi

Hart berbeda dari pemikir hukum alam klasik seperti Thomas Aquinas atau John Finnis. Bagi tradisi hukum alam, hukum yang tidak adil tidak memiliki kekuatan hukum sejati (lex iniusta non est lex). Hart menolak klaim ini. Menurutnya, hukum yang tidak adil tetap sah, tetapi mungkin kehilangan otoritas moral.

Namun, dengan “minimum content of natural law”, Hart menunjukkan bahwa ada titik temu antara positivisme dan hukum alam: keduanya sama-sama mengakui perlunya dimensi moral minimum agar hukum dapat berfungsi. Bedanya, bagi Hart, moralitas minimum itu bersumber dari fakta empiris tentang kondisi manusia, bukan dari prinsip metafisik atau teologis.

IV.3.4. Relevansi Kontemporer

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun