Mohon tunggu...
R Hady Syahputra Tambunan
R Hady Syahputra Tambunan Mohon Tunggu... Karyawan Swasta

Pemerhati Politik Sosial Budaya. Pendidikan Bidang Hukum. Pengikut Gerakan Akal Sehat. Ex Relawan BaraJP / KAWAL PEMILU Pembelajar Tanpa Henti

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Belajar dari Kompol Cosmas Kaju Gae (Pelindas Affan): Kekuasaan dan Krisis Etika

1 September 2025   13:10 Diperbarui: 1 September 2025   22:29 437
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber kolase : bang jago: detik, novel: kompas

Nama Kompol Cosmas Kaju Gae (Kompol C) menjadi sorotan setelah kasus meninggalnya Affan Kurniawan, pengemudi gojek yang tewas terlindas kendaraan taktis (Rantis). Bagi publik, nama ini bukan hal baru. Beberapa tahun sebelumnya, ia sempat disebut dalam penyelidikan kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.

Dalam kasus Novel, Kompol C hadir sebagai saksi. Keterangannya diperlukan untuk menjelaskan situasi internal kepolisian, hubungan antaranggota, serta informasi soal aktivitas personel di sekitar waktu kejadian. Ia tidak pernah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, publik menaruh perhatian besar karena namanya berkali-kali muncul dalam pusaran kontroversi.

Pertanyaan pun muncul: apakah ini sekadar kebetulan, atau bagian dari pola berulang? Kasus Affan yang tragis justru membuka kembali luka lama, betapa kasus besar yang menyentuh institusi sering kali berakhir begitu saja, tanpa titik terang pertanggungjawaban.

Novel Baswedan Di-buta-kan, Aktor Intelektual Hidup Nyaman

Novel bukan orang biasa. Ia pernah menjadi perwira polisi sebelum bergabung dengan KPK. Ia tahu persis anatomi aparat dari dalam. Dalam berbagai kesempatan, Novel menyebut ada nama jenderal yang mengetahui detail serangan terhadap dirinya. Antara lain:

  • Brigjen Pol Nico Afinta, saat itu Dirreskrimum Polda Metro Jaya, disebut mengetahui banyak soal kasus namun tidak mengungkap.
  • Brigjen Pol Teddy Minahasa, diduga memberi tekanan dalam proses penanganan kasus.
  • Brigjen Pol Idham Azis, Kapolda Metro Jaya (kemudian Kapolri), disebut Novel tidak serius mengungkap kasus.
  • Ronny Bugis & Rahmat Kadir Mahulette, dua eksekutor dari Brimob, dihukum ringan hanya 2 tahun penjara.

Novel berkali-kali menegaskan:

  • "Saya sudah sampaikan sejak awal ada nama jenderal tertentu, tapi sampai sekarang tidak ada tindak lanjut."
  • "Mereka yang dihukum hanyalah eksekutor, sementara aktor intelektualnya tidak pernah dibuka."
  • "Saya pernah menyebut beberapa nama perwira tinggi, tapi justru saya yang ditekan."

Kekerasan Aparat dalam Cermin Filsafat Etika

Filsafat etika memberi kita teori dan sudut pandang untuk melihat alasan kejatuhan moral aparat bersangkutan:

  • Deontologi (Kant). Imperatif kategoris mewajibkan manusia diperlakukan sebagai tujuan, bukan alat. Polisi justru menjadikan rakyat pion, korban tumbal, hukum sekadar topeng.
  • Utilitarianisme (Mill). Kekerasan aparat tidak hanya melukai korban, tetapi menghancurkan kepercayaan publik. Kerugian sosial jauh lebih besar daripada keuntungan segelintir perwira.
  • Etika Kebajikan (Aristoteles). Polisi seharusnya menumbuhkan kebajikan: adil, berani, jujur. Yang tampak justru sebaliknya: zalim, pengecut, dan ahli rekayasa kebohongan.

Doktrin Teori Kekuasaan soal Mengapa oknum Polisi Bisa Santai Melanggar Hukum

Sejak lama, filsuf dan pemikir sudah berulangkali mengingatkan potensi terjadinya penyimpangan terhadap orang yang diberikan kekuasaan tanpa kontrol dan minim etika

  • Michel Foucault: Kekuasaan menciptakan kebenarannya sendiri. Kasus Joshua adalah buktinya "kebenaran" diproduksi di meja rapat, bukan di TKP.
  • Lord Acton: "Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely." Di Indonesia, korupsi kekuasaan bukan kecenderungan, melainkan modus operandi.
  • Thomas Hobbes: Negara hadir untuk menghindari perang semua melawan semua. Ironisnya, kasus "polisi tembak polisi" justru membawa kita kembali ke kondisi Hobbesian.
  • Max Weber: Negara sah jika monopoli kekerasan berdasar legitimasi hukum. Di sini, monopoli itu berubah menjadi privatisasi kekerasan, milik segelintir elit demi kepentingan pribadi.

Pelajari ini: Kata Pakar Kepolisian Dunia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun