"Nilainya segini, Bu," kata petugas sambil menunjukkan angka di selembar kertas. Ibu mengangguk pelan. Tak lama kemudian, uang tunai berpindah tangan. Ibu menyimpannya ke dalam tas, ia menarik nafas, lalu kami pulang.
Sepanjang perjalanan di angkot D-01, pandanganya menerawang, sesekali menoleh padaku, sambil tersenyum menutupi keresahannya, dan berkata,"Lanjut sekolah ya, yang rajin  ya Nak."
Waktu berlalu. Aku masuk kuliah, sementara kakakku yang kini telah tiada juga sedang menempuh pendidikan tinggi. Dua anak menempuh perguruan tinggi sekaligus menjadi tantangan besar bagi keluarga kami.
Biaya kuliah tidak murah. Ada biaya semesteran, uang praktikum, buku yang harganya bila di total kami berdua bisa setara sebulan belanja.Â
Almarhum Bapak berpindah bekerja dari Bandung ke Karawang untuk mendapatkan pendapatan yang lebih baik, tapi tetap saja tidak cukup. Dan Ibu berkerja siang-malam hingga subuh menjahit, seperti biasa Ibu punya "tabungan darurat" yang selalu siap: emasnya.
Suatu sore, Aku ingat ketika uang semester akhir ku belum lunas dan menuju tenggat waktu pembayaran, aku pulang kuliah dengan wajah muram.Â
Ibu langsung bertanya, "Kenapa, Nak?" Aku mencoba menjawab santai, "Uang semester bagaimana, Bu...?"
Menghela nafas, tanpa banyak kata, Ibu masuk ke kamar, mengambil kotak logam lusuh itu. Aku hanya bisa menatapnya ketika ia mengambil cincin kecil dari kotak itu, cincin yang sepertinya penuh kenangan.
"Ini cincin pertama yang Bapak belikan saat akan menikah. Tapi sekarang yang lebih penting kamu bayar kuliah. Nanti kalau Kamu sudah kerja, kamu bisa tebus," katanya sambil tersenyum.
Aku hanya terdiam. Tapi sebelum sempat menahan meneteskan air mata, beliau sudah melangkah lagi ke Pegadaian, melewati jalan, pintu kaca, bunyi timbangan digital yang sama, dan pulang dengan uang untuk membayar kuliahku.
Cincin itu tak pernah Kami tebus kembali.....Ibu hanya menyimpan cincin Bapak, tak berpasangan.