Aku sempat memegangnya, begitu dingin dan terasa mahal di jemari Ku.
"Ini perhiasan Ibu, kamu harus tau, kalau ada musibah selamatkan kotak ini" ucap beliau dengan serius "Suatu hari nanti, kamu akan mengerti kenapa Ibu berpesan"
Waktu itu aku masih SMP, Bapak buruh pabrik di Bandung beliau pulang sebulan sekali. Sedangkan Ibu berkerja sebagai penjahit rumahan.
Setiap awal tahun ajaran, selalu ada pengeluaran besar, belum lagi kebutuhan harian yang terus bertambah.
Pernah suatu waktu, aku tidak sengaja mendengar percakapan Bapak dan Ibu di ruang tamu.
"Gaji Ku bulan ini tidak cukup. Pengeluaran dan uang sekolah anak-anak belum terbayar, bagaimana ?..." kata Bapak dengan suara berat.
Ibu hanya diam sebentar, lalu menjawab dengan nada lirih, "Besok Aku ke Pegadaian."
Esoknya, Ibu berpakaian rapi. Ia membawa perhiasan dalam tas selempang kulit sintetis. Aku ikut berjalan di sampingnya, melewati pinggiran jalan raya yang disesaki pedagang kaki lima menuju Pegadaian Kebayoran Lama yang letaknya di dekat Stasiun.
Begitu sampai di Pegadaian, aku masih ingat aura khas ruangan itu. Di dalam, ada beberapa orang duduk menunggu. Wajah-wajah mereka berbeda-beda, tapi matanya sama, menyimpan harapan.Â
Di sudut ruangan, seorang bapak memegang tas canvas, di sebelahnya seorang ibu muda menimang bayi. Semua datang dengan alasan masing-masing, tapi tujuan mereka sama, mencari napas tambahan untuk bertahan hidup.
Ibu maju mendekat ke loket. Petugas berseragam putih kombinasi hijau tersenyum, mengulurkan tangan dan mengambil gelang emas Ibu, lalu menimbangnya di timbangan digital. Terdengar bunyi "beep" timbangan itu terasa seperti detak jantung Ibu yang makin kencang.