Mohon tunggu...
Raja Lubis
Raja Lubis Mohon Tunggu... Pekerja Teks Komersial

Pecinta Musik dan Film Indonesia yang bercita-cita menjadi jurnalis dan entertainer namun malah tersesat di dunia informatika dan kini malah bekerja di perbankan. Ngeblog di rajalubis.com / rajasinema.com

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

"Dendam" yang Tumbuh Saat Negara Diam

22 September 2025   07:05 Diperbarui: 21 September 2025   18:57 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya merasa, meski koreografi pertarungannya digarap serius, sering terasa lamban. Bukan lamban karena gaya, tapi lamban karena ritme yang sering tak sinkron dengan emosi karakter. Misalnya ada banyak momen ketika pukulan Renata terasa seperti jeda dan tampak ragu-ragu. 

Di sisi lain, karakterisasi Renata justru melaju terlalu cepat. Dari anak korban jadi polisi dan petarung tangguh, transisinya terasa sangat cepat. Penonton belum sempat melihat dia jatuh, sudah diminta kagum karena dia bangkit. Padahal luka itu butuh waktu, dan penonton butuh ruang untuk percaya bahwa dendamnya bukan sekadar plot.

Kalau saya bandingkan dengan karakterisasi Tiana (Tatjana Saphira) di Roman Dendam yang punya garis cerita yang sama, ia diberi ruang untuk hancur dulu. Sebagai penonton, kita bisa melihat bagaimana Tiana terpuruk setelah kehilangan orangtuanya. Ia lebih sering diam dan terasa sekali seperti kehilangan arah. 

Luka-luka yang ia rasakan tidak langsung dijadikan motivasi. Tapi dibiarkan membusuk, mengganggu, dan akhirnya memaksa dia untuk memilih antara pulih atau tenggelam.

Dan ketika akhirnya dia memilih untuk pulih, prosesnya terasa masuk akal. Ia tidak tiba-tiba jago, tidak tiba-tiba kuat. Ia belajar, gagal, takut, dan baru kemudian berani. Dendamnya bukan reaksi, tapi hasil dari perjalanan panjang. Justru karena itu, penonton percaya. Kita tahu dari mana sakitnya berasal, dan kenapa ia memilih membalas.

Tapi untungnya, karakterisasi Renata yang terlampau cepat terbantu oleh pengembangan karakter James. Karakter si ketua lantai tinju itu digarap lebih pelan dan lebih manusiawi. Meskipun ia seorang mafia, kita diajak melihat sisi rapuhnya soal dilema moral tentang pekerjaan yang ia lakukan.

Akhirnya, karakter James terasa lebih hidup dan lebih bisa menuai empati ketimbang karakter Renata. Tapi terlepas dari kurangnya soal pengembangan karakter, duet mereka menjadi titik penting cerita film ini.

Sangat wajar jika mereka berdua masuk nominasi Festival Film Bandung 2025, masing-masing untuk Pemeran Utama Pria Terpuji dan Pemeran Utama Wanita Terpuji.

Kalau negara diam, biar dendam yang bicara

Adegan ketika James mengutarakan dilema moralnya, malah berujung dimasukkan ke penjara oleh petinggi utama (Sumber: dokumentasi Vision+)
Adegan ketika James mengutarakan dilema moralnya, malah berujung dimasukkan ke penjara oleh petinggi utama (Sumber: dokumentasi Vision+)
Nonton series arahan Razka Robby Ertanto ini, bikin saya nggak cuma mikir soal Renata yang marah. Saya juga mikir soal kita semua yang pernah kecewa sama sistem. Pernah nunggu keadilan yang nggak datang-datang, atau pernah pengen marah tapi nggak tahu ke siapa. 

Renata memang tokoh fiksi, tapi dendamnya terasa nyata. Karena di dunia nyata, dendam sering lahir dari tempat yang sama yakni ketidakadilan yang dibiarkan tumbuh.

Di series yang berjumlah 8 episode ini, Renata melawan District 8 yang ternyata memang di-backing oleh para penguasa termasuk atasan Renata di kepolisian. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun