Affan berangkat pagi itu,
dengan roti sisa dan saldo dompet digital yang nyaris nol. Â
Ia tahu: rezeki tak selalu instan, Â
tapi algoritma tetap jalan, Â
meski rating turun, hidup harus lanjut.
Di perempatan itu, Â
ada suara rem, Â
ada tubuh yang tak sempat tap tombol "sudah sampai", Â
dan ada mobil dinas yang melaju pelan, Â
melintas, lalu melindas, Â
seperti tak tahu bedanya trotoar dan nyawa.
Mereka tidak turun. Â
Hanya kaca mobil yang sedikit terbuka, Â
lalu suara datar: Â
"Maaf, tidak sengaja." Â
"Kami sudah sesuai prosedur." Â
Lalu mobil melaju lagi, Â
meninggalkan tubuh dan kerumunan yang tak tercatat di laporan.
Berita menyebar, Â
bukan karena media, Â
tapi karena sesama- Â
ojol-ojol yang tak kenal Affan, Â
tapi tahu rasa kehilangan yang tak bisa diklaim ke asuransi.
Mereka datang, Â
beriringan dalam konvoi ramai, Â
helm hijau, jaket lusuh, dan doa yang tak sempat diketik. Â
Tak ada sirine, Â
hanya suara klakson yang pelan, Â
seperti minta maaf ke jalanan.
Di antara mereka, Â
ada yang tetap aktif di aplikasi, Â
karena insentif tak kenal duka. Â
Ada yang kirim screenshot ke grup, Â
bukan untuk viral, Â
tapi untuk memastikan: Â
"Ini bukan hoax, bro. Dia beneran off."
Sementara itu, Â
di rumah kecil di ujung gang, Â
ibunya duduk di kursi plastik, Â
menatap notifikasi yang tak kunjung muncul. Â
Tak ada promo, Â
tak ada voucher belasungkawa, Â
hanya diam yang panjang.
Tak ada aparat yang datang, Â
tak ada negara yang minta maaf. Â
Hanya tetangga yang bisik-bisik, Â
dan langit yang tetap biru, Â
seolah tak terjadi apa-apa.
---
(Turut berduka cita, Affan Kurniawan)
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI