Mohon tunggu...
raihan sultan nugraha
raihan sultan nugraha Mohon Tunggu... freelancer

Seorang freelancer yang gemar menulis serta menaruh perhatian pada isu sosial, politik, dan ekonomi.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dilema Abadi DPR : Suara Rakyat yang Tak Pernah Sama

17 September 2025   06:46 Diperbarui: 17 September 2025   06:46 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setiap kali DPR mengambil keputusan, selalu ada kelompok masyarakat yang merasa puas dan ada pula yang kecewa. Itulah risiko terbesar menjadi wakil rakyat di negara yang majemuk seperti Indonesia. Dengan lebih dari 270 juta penduduk, mustahil semua kepentingan bisa diakomodasi dalam satu kebijakan. Di sinilah dilema DPR lahir: bagaimana menyeimbangkan suara rakyat yang berbeda-beda, bahkan sering kali saling bertolak belakang?

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga hasil pemilu yang memegang tiga fungsi utama: legislasi, anggaran, dan pengawasan. Tapi di luar fungsi formal itu, DPR punya tanggung jawab moral yang jauh lebih berat: menyalurkan suara rakyat ke dalam kebijakan negara. Artinya, seorang anggota DPR tidak hanya menjadi wakil partai atau daerah pemilihannya, tetapi juga mewakili seluruh rakyat Indonesia.

Tugas ini tentu tidak sederhana. Indonesia adalah negara yang sangat beragam, baik dari sisi etnis, agama, budaya, maupun kondisi sosial-ekonomi. Perbedaan itu otomatis melahirkan kebutuhan dan aspirasi yang berbeda-beda. Kebutuhan petani di desa jelas berbeda dengan pekerja industri di kota. Aspirasi masyarakat adat sering kali bertolak belakang dengan kepentingan pengusaha besar. Bahkan kelompok pemuda, perempuan, dan kelompok rentan punya agenda sendiri yang tidak selalu sama dengan mayoritas. Dari sinilah dilema DPR bermula: mereka harus menimbang banyak kepentingan yang sering kali saling bertabrakan.

Salah satu contoh nyata bisa kita lihat dalam perdebatan Undang-Undang Cipta Kerja. Dari sisi buruh, undang-undang ini dianggap merugikan karena mengurangi hak-hak dasar---mulai dari pesangon yang turun, kontrak kerja yang lebih longgar, hingga hilangnya kepastian kerja. Serikat pekerja menilai aturan ini melemahkan posisi tawar mereka dan menurunkan kesejahteraan.

Sebaliknya, pengusaha dan pemerintah punya pandangan lain. Mereka menganggap aturan lama terlalu kaku sehingga membuat iklim usaha tidak kompetitif. Bagi mereka, reformasi diperlukan agar biaya produksi lebih efisien, investasi asing masuk, dan lapangan kerja baru tercipta. Di titik inilah DPR benar-benar berada di persimpangan: jika membela buruh, mereka dicap anti-investasi. Kalau mendukung pengusaha, mereka dituding mengorbankan hak-hak pekerja.

Contoh lain yang menunjukkan dilema DPR bisa dilihat dari munculnya gerakan "17+8 Tuntutan Rakyat" yang belakangan ramai diperbincangkan. Gerakan ini lahir dari gabungan aspirasi mahasiswa dan masyarakat sipil yang menyoroti berbagai isu, mulai dari ketenagakerjaan, lingkungan, transparansi, hingga fasilitas anggota DPR. Salah satu tuntutan paling keras adalah desakan untuk menghapus atau memangkas tunjangan rumah anggota DPR yang nilainya mencapai Rp50 juta per bulan.

Bagi mahasiswa dan kelompok kritis, tunjangan tersebut dianggap tidak adil dan semakin memperlebar jarak antara wakil rakyat dengan kondisi ekonomi mayoritas masyarakat. Namun, sebagian anggota DPR menilai fasilitas itu wajar diberikan, mengingat tanggung jawab besar yang mereka emban. Pertentangan ini kembali memperlihatkan kenyataan bahwa rakyat sendiri tidak pernah berbicara dengan satu suara. Ada yang menuntut kesederhanaan dan keadilan, sementara ada pula yang berpendapat bahwa DPR butuh standar tertentu demi menjaga kewibawaan lembaga. Perbedaan kepentingan inilah yang membuat setiap keputusan DPR hampir selalu menuai kritik, karena mustahil bisa memuaskan semua pihak sekaligus.

Melihat dua kasus di atas, jelas bahwa DPR tidak bisa sekadar mencari solusi hitam-putih. Jalan keluar yang realistis adalah dengan membuka ruang partisipasi publik yang lebih luas. Proses legislasi tidak boleh hanya berlangsung di ruang rapat internal atau lobi politik, tetapi juga harus melibatkan kelompok masyarakat dengan berbagai kepentingan. Selain itu, DPR perlu mengandalkan kajian akademik yang netral dan berbasis data agar setiap keputusan bisa dipertanggungjawabkan, bukan sekadar hasil tekanan politik.

Jika cara ini ditempuh, kebijakan yang dihasilkan mungkin tidak akan memuaskan semua pihak. Namun, setidaknya masyarakat bisa merasa bahwa suara mereka telah didengar dan dipertimbangkan secara serius. Proses yang transparan juga akan mengurangi kecurigaan bahwa DPR hanya berpihak pada kelompok tertentu.

Tentu, beban ini tidak bisa ditanggung DPR saja. Masyarakat juga harus belajar melihat kebijakan secara lebih dewasa. Dalam negara majemuk seperti Indonesia, tidak mungkin semua kepentingan bisa terakomodasi. Yang penting adalah adanya ruang kompromi, keseimbangan, serta mekanisme evaluasi yang berkelanjutan.

Pada akhirnya, dilema DPR adalah cermin dari wajah bangsa yang plural. Setiap suara membawa kepentingan, dan setiap keputusan pasti melahirkan pihak yang tidak puas. Namun, justru di situlah ukuran sejati DPR sebagai wakil rakyat: bukan pada seberapa banyak mereka membuat semua orang senang, tetapi pada seberapa adil mereka menimbang dan berani bertanggung jawab atas pilihan yang diambil. Karena dalam demokrasi, yang terpenting bukan hanya siapa yang bersuara paling keras, melainkan bagaimana suara-suara yang beragam itu tetap mendapat tempat dalam kebijakan negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun