Kompas (11/10/2025) menyebut wacana single salary atau sistem penggajian tunggal bagi aparatur sipil negara (ASN) kembali mencuat dalam dokumen Nota Keuangan dan RAPBN 2026, terutama pada bagian kebijakan prakiraan maju belanja negara 2026-2029.
Namun, yang menarik, gagasan ini sesungguhnya bukan hal baru: sejak era 2014 sejumlah mantan pimpinan KPK pernah mengusulkan skema gaji tunggal, dan pada Agustus 2017 BKN pernah menerbitkan dokumen kebijakan skema gaji tunggal (Civil Apparatus Policy Brief).
Selain itu, sejak Juni 2023, pemerintah melakukan uji coba simulasi single salary di 15 instansi; 7 pemerintah pusat dan 8 tingkat daerah sebagai pilot project (Liputan6.com; Detik).
Namun uji coba itu bersifat simulasi di atas kertas, belum menyentuh praktik penggajian nyata. Bila demikian, kapan dan bagaimana single salary akan diterapkan secara nasional tetap menjadi pertanyaan besar.
Sebagai seorang lulusan magister administrasi publik, saya sangat tertarik untuk membahas topik tersebut dengan mengajukan sebuah pertanyaan: Apakah single salary dapat menjadi solusi reformasi atau justru membawa risiko baru bagi birokrasi Indonesia?
Apa itu "single salary"?
Selama ini di Indonesia, sistem penggajian ASN masih bersifat fragmentaris: gaji pokok ditentukan berdasarkan golongan dan masa kerja, sedangkan komponen tunjangan (tunjangan keluarga, jabatan, kinerja, lauk-pauk, daerah, dan sebagainya) diatur secara parsial oleh masing-masing instansi.
Akibatnya, total take-home pay ASN sangat beragam, bahkan untuk jabatan dengan beban kerja serupa.
Singe salary system atau sistem gaji tunggal muncul untuk menjawab persoalan tersebut. Dengan prinsip transparansi, kesetaraan, dan efisiensi administrasi.
Secara ringkas, single salary berarti menyatukan berbagai komponen penghasilan (gaji pokok plus beragam tunjangan kecil dan variasi tunjangan fungsional/kelas jabatan) menjadi satu struktur penggajian yang terstandar.