Berbeda dengan kopi yang menjadi simbol pemberontakan dan maskulinitas (ingat Chairil dan warung kopi), teh tumbuh diam-diam--lebih feminin, lebih domestik, tapi juga sangat politis: simbol ketenangan di tengah hiruk-pikuk kolonialisme dan modernitas.
Tong Tji dan Kepala Djenggot mengajarkan dua hal yang sama berharganya: akar dan arah. Yang satu mengingatkan kita pada kerja keras dan kesinambungan tradisi; yang lain mengingatkan kita pada kepekaan terhadap perubahan dan kesehatan batin.
Ketika dunia semakin cepat dan bising, mungkin yang kita butuhkan hanyalah kembali ke dapur, menyiapkan air panas, dan membiarkan daun-daun kecil itu berbicara dalam diamnya.
Referensi:
- Anderson, B. (1988). Cultural Symbolism and Social Order: The Anthropology of Tea Drinking. Journal of Social History, 22(1), 1--20.
- Benn, J. (2015). Tea in China: A Religious and Cultural History. University of Hawaii Press.
- Lovell, J. (2011). The Opium War: Drugs, Dreams and the Making of China. Picador.
- Sen Soshitsu XV. (1979). The Japanese Way of Tea: From Its Origins in China to Sen Rikyu. University of Hawaii Press.
- Ukers, W. H. (1935). All About Tea. New York: The Tea and Coffee Trade Journal Company.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI