Perbedaan ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal cara pandang terhadap waktu: Tong Tji mewakili waktu yang mengendap, sedangkan Kepala Djenggot mewakili waktu yang mengalir.
Dalam rumah tangga saya, keduanya hidup berdampingan tanpa saling meniadakan. Dan di situ, saya melihat refleksi Indonesia--bangsa yang bisa menampung tradisi lama sekaligus adaptif terhadap modernitas global.
Dari Perdagangan ke Meditasi: Teh sebagai Metafora Peradaban
Teh telah melewati perjalanan luar biasa dalam sejarah global--dari komoditas kolonial menjadi simbol refleksi spiritual.
Di abad ke-18, Inggris menjadikan teh sebagai pusat ekonomi dunia, bahkan menimbulkan Perang Candu di Tiongkok (Lovell, 2011). Di abad ke-21, teh kembali hadir bukan sebagai produk imperialisme, tapi sebagai bagian dari wellness culture global.
Tong Tji dan Kepala Djenggot adalah dua bentuk adaptasi dari dinamika itu: yang satu membawa jejak kolonialisme dan industri lokal, yang lain membawa pengaruh globalisasi dan kesehatan modern.
Dalam studi antropologi konsumsi, teh sering dipahami sebagai medium sosial dan simbolik (Anderson, 1988). Ia menandai hubungan antara tubuh, waktu, dan komunitas.
Ketika seseorang menyeduh teh, sebenarnya ia sedang melakukan dua hal sekaligus: merayakan kebersamaan dan menegosiasikan makna personal.
Mungkin itulah sebabnya teh selalu relevan di setiap zaman: ia lentur, mampu mengikuti perubahan sosial tanpa kehilangan ruh dasarnya: kehangatan.
Penutup
Sejarah teh di Indonesia mungkin tidak seheroik kopi atau rempah-rempah, tapi justru di situlah kekuatannya. Ia hadir dengan rendah hati, menyatu dalam kehidupan tanpa pretensi.