Saya sebenarnya bukan peminum teh. Namun, di rumah selalu ada teh merek Tong Tji. Sementara istri selalu meminum green tea Kepala Djenggot.
Kedua merek teh ini hidup berdampingan sepanjang usia pernikahan kami: Tong Tji, yang beraroma pekat dan berjiwa klasik, serta Kepala Djenggot, yang lembut, hijau, dan modern.
Dari 'Topik Pilihan' ini saya belajar satu hal: bahwa teh bukan hanya minuman, melainkan cermin peradaban yang menyeberangi sejarah, budaya, dan selera manusia.
Saya akan ceritakan sedikit pengalaman saya dan istri bersama Tong Tji daan Kepala Djenggot.
Dari Kaisar Shen Nung ke Dapur Jawa
Sejarah teh adalah sejarah manusia yang mencari keseimbangan. Legenda Tiongkok menyebut Kaisar Shen Nung menemukan teh sekitar tahun 2737 SM, ketika daun teh jatuh ke dalam air mendidih yang sedang ia minum. Kaisar itu terkesima oleh aroma dan efeknya yang menenangkan (Benn, 2015).
Dari situlah perjalanan panjang dimulai--teh menjadi ritual spiritual di Tiongkok, simbol kesopanan di Jepang, dan obsesi sosial di Inggris.
Ketika Belanda datang ke Nusantara pada abad ke-17, mereka membawa teh sebagai bagian dari commodity chain global yang menghubungkan Asia dan Eropa.
Tahun 1826, kebun teh pertama dibuka di sekitar Bogor dan kemudian menyebar ke Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatra (Ukers, 1935).
Dari sinilah lahir kebiasaan minum teh yang khas Indonesia: tidak serumit Jepang, tidak seformal Inggris, tapi mengalir alami dalam kehidupan sehari-hari.
Seiring perubahan zaman, teh menjelma menjadi ritual, diplomasi, bahkan simbol peradaban.
Tong Tji: Tradisi Wangi dari Kota Pesisir
Tong Tji adalah salah satu merek teh tertua di Indonesia yang bertahan lintas generasi. Awalnya bernama 'Teh Wangi Dua Burung."
Didirikan pada tahun 1938 di Tegal oleh Tan See Giam, merek ini awalnya hanya menjual teh seduh di toko keluarga kecil.
Namun dari aroma yang kuat dan warna yang pekat, Tong Tji perlahan menembus pasar nasional. Kini, produk mereka--mulai dari teh celup, teh tarik, hingga varian siap saji--bisa ditemukan dari warung kecil hingga hotel mewah.
Bagi saya, Tong Tji selalu memiliki aroma "pesisir"--tegas, jujur, dan langsung pada intinya. Ia seperti kopi bagi orang-orang Jawa Tengah: meneguhkan.
Setiap kali diseduh, teh ini membawa bayangan tentang obrolan santai di teras rumah atau warung siang hari, ditemani semilir angin dan bunyi sendok kecil beradu dengan gelas kaca.
Secara budaya, Tong Tji merepresentasikan model bisnis Tionghoa-Indonesia klasik: etos kerja keras, adaptasi rasa lokal, dan ketekunan dalam kualitas.
Dalam ekonomi simbolik, Tong Tji adalah bentuk "cultural persistence"--bagaimana sebuah warisan diaspora bisa menjadi bagian dari identitas nasional.
Ia bukan sekadar merek teh, tapi jejak akulturasi antara Tionghoa dan Jawa yang menghasilkan cita rasa universal.
Kepala Djenggot: Meditasi Hijau di Tengah Dunia Cepat
Di sisi lain, teh yang lebih sering disentuh oleh istri saya adalah green tea Kepala Djenggot. Rasanya ringan, aromanya menenangkan, dan efeknya terasa lebih "modern".
Green tea memiliki sejarah berbeda dari black tea seperti Tong Tji. Dalam tradisi Jepang dan Tiongkok, teh hijau dipandang sebagai simbol keseimbangan antara tubuh dan alam.
Upacara minum teh (chanoyu) bahkan menjadi latihan spiritual untuk menumbuhkan kesadaran penuh (Sen Soshitsu XV, 1979).
Kepala Djenggot, merek lokal yang muncul lebih belakangan, memanfaatkan tren global teh hijau yang meningkat sejak 1990-an. Ia menyasar konsumen urban Indonesia yang mulai peduli dengan kesehatan, gaya hidup alami, dan antioksidan.
Namun menariknya, merek ini tetap mempertahankan sentuhan lokal pada identitasnya: nama "Kepala Djenggot" mengingatkan kita pada figur kebijaksanaan yang eksentrik, sesuatu yang "timur" tapi juga lucu dan membumi.
Dalam konteks sosiokultural, Kepala Djenggot menggambarkan pergeseran nilai konsumsi masyarakat Indonesia: dari minum teh sebagai kebiasaan komunal menjadi ritual personal.
Jika Tong Tji diseduh untuk menemani obrolan, Kepala Djenggot diseduh untuk menemani keheningan.
Dua Teh, Dua Zaman
Keduanya--Tong Tji dan Kepala Djenggot--adalah dua sisi dari mata uang yang sama: cerminan perjalanan teh dalam budaya Indonesia.
Tong Tji adalah kisah masa lalu yang masih berdenyut: tradisi dagang, rasa komunitas, dan aroma nostalgia. Kepala Djenggot adalah masa kini yang sedang mencari keseimbangan: gaya hidup sehat, spiritualitas ringan, dan pencarian makna di tengah rutinitas.
Jika Tong Tji adalah black tea yang dihasilkan dari fermentasi panjang--kuat, kompleks, dan kaya lapisan rasa--maka Kepala Djenggot adalah green tea yang diproses cepat--jernih, lembut, dan segar.
Perbedaan ini bukan hanya soal rasa, tapi juga soal cara pandang terhadap waktu: Tong Tji mewakili waktu yang mengendap, sedangkan Kepala Djenggot mewakili waktu yang mengalir.
Dalam rumah tangga saya, keduanya hidup berdampingan tanpa saling meniadakan. Dan di situ, saya melihat refleksi Indonesia--bangsa yang bisa menampung tradisi lama sekaligus adaptif terhadap modernitas global.
Dari Perdagangan ke Meditasi: Teh sebagai Metafora Peradaban
Teh telah melewati perjalanan luar biasa dalam sejarah global--dari komoditas kolonial menjadi simbol refleksi spiritual.
Di abad ke-18, Inggris menjadikan teh sebagai pusat ekonomi dunia, bahkan menimbulkan Perang Candu di Tiongkok (Lovell, 2011). Di abad ke-21, teh kembali hadir bukan sebagai produk imperialisme, tapi sebagai bagian dari wellness culture global.
Tong Tji dan Kepala Djenggot adalah dua bentuk adaptasi dari dinamika itu: yang satu membawa jejak kolonialisme dan industri lokal, yang lain membawa pengaruh globalisasi dan kesehatan modern.
Dalam studi antropologi konsumsi, teh sering dipahami sebagai medium sosial dan simbolik (Anderson, 1988). Ia menandai hubungan antara tubuh, waktu, dan komunitas.
Ketika seseorang menyeduh teh, sebenarnya ia sedang melakukan dua hal sekaligus: merayakan kebersamaan dan menegosiasikan makna personal.
Mungkin itulah sebabnya teh selalu relevan di setiap zaman: ia lentur, mampu mengikuti perubahan sosial tanpa kehilangan ruh dasarnya: kehangatan.
Penutup
Sejarah teh di Indonesia mungkin tidak seheroik kopi atau rempah-rempah, tapi justru di situlah kekuatannya. Ia hadir dengan rendah hati, menyatu dalam kehidupan tanpa pretensi.
Berbeda dengan kopi yang menjadi simbol pemberontakan dan maskulinitas (ingat Chairil dan warung kopi), teh tumbuh diam-diam--lebih feminin, lebih domestik, tapi juga sangat politis: simbol ketenangan di tengah hiruk-pikuk kolonialisme dan modernitas.
Tong Tji dan Kepala Djenggot mengajarkan dua hal yang sama berharganya: akar dan arah. Yang satu mengingatkan kita pada kerja keras dan kesinambungan tradisi; yang lain mengingatkan kita pada kepekaan terhadap perubahan dan kesehatan batin.
Ketika dunia semakin cepat dan bising, mungkin yang kita butuhkan hanyalah kembali ke dapur, menyiapkan air panas, dan membiarkan daun-daun kecil itu berbicara dalam diamnya.
Referensi:
- Anderson, B. (1988). Cultural Symbolism and Social Order: The Anthropology of Tea Drinking. Journal of Social History, 22(1), 1--20.
- Benn, J. (2015). Tea in China: A Religious and Cultural History. University of Hawaii Press.
- Lovell, J. (2011). The Opium War: Drugs, Dreams and the Making of China. Picador.
- Sen Soshitsu XV. (1979). The Japanese Way of Tea: From Its Origins in China to Sen Rikyu. University of Hawaii Press.
- Ukers, W. H. (1935). All About Tea. New York: The Tea and Coffee Trade Journal Company.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI