Di sisi lain, teh yang lebih sering disentuh oleh istri saya adalah green tea Kepala Djenggot. Rasanya ringan, aromanya menenangkan, dan efeknya terasa lebih "modern".
Green tea memiliki sejarah berbeda dari black tea seperti Tong Tji. Dalam tradisi Jepang dan Tiongkok, teh hijau dipandang sebagai simbol keseimbangan antara tubuh dan alam.
Upacara minum teh (chanoyu) bahkan menjadi latihan spiritual untuk menumbuhkan kesadaran penuh (Sen Soshitsu XV, 1979).
Kepala Djenggot, merek lokal yang muncul lebih belakangan, memanfaatkan tren global teh hijau yang meningkat sejak 1990-an. Ia menyasar konsumen urban Indonesia yang mulai peduli dengan kesehatan, gaya hidup alami, dan antioksidan.
Namun menariknya, merek ini tetap mempertahankan sentuhan lokal pada identitasnya: nama "Kepala Djenggot" mengingatkan kita pada figur kebijaksanaan yang eksentrik, sesuatu yang "timur" tapi juga lucu dan membumi.
Dalam konteks sosiokultural, Kepala Djenggot menggambarkan pergeseran nilai konsumsi masyarakat Indonesia: dari minum teh sebagai kebiasaan komunal menjadi ritual personal.
Jika Tong Tji diseduh untuk menemani obrolan, Kepala Djenggot diseduh untuk menemani keheningan.
Dua Teh, Dua Zaman
Keduanya--Tong Tji dan Kepala Djenggot--adalah dua sisi dari mata uang yang sama: cerminan perjalanan teh dalam budaya Indonesia.
Tong Tji adalah kisah masa lalu yang masih berdenyut: tradisi dagang, rasa komunitas, dan aroma nostalgia. Kepala Djenggot adalah masa kini yang sedang mencari keseimbangan: gaya hidup sehat, spiritualitas ringan, dan pencarian makna di tengah rutinitas.
Jika Tong Tji adalah black tea yang dihasilkan dari fermentasi panjang--kuat, kompleks, dan kaya lapisan rasa--maka Kepala Djenggot adalah green tea yang diproses cepat--jernih, lembut, dan segar.