Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kesehatan Mental Sedunia: Sebuah Refleksi Peradaban Kapitalisme Modern

10 Oktober 2025   12:55 Diperbarui: 10 Oktober 2025   12:55 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster hari kesehatan mental sedunia. (Foto:Pexels)

Luka tak tampak dalam dunia yang bising. Ketika ekonomi global merosot dan perang berkecamuk di berbagai belahan dunia, kesehatan mental menjadi isu yang tak lagi bisa ditempatkan di pinggir kebijakan publik.

Di balik kemajuan peradaban modern, terdapat paradoks yang menganga: semakin tinggi produktivitas manusia, semakin rapuh pula kesehatannya.

Kapitalisme modern, dengan logika kompetisi dan efisiensi tanpa henti, telah menempatkan individu dalam pusaran tekanan yang seolah tiada ujung. Segalanya diukur dengan kinerja, angka, dan citra, sementara ruang untuk jeda, refleksi, dan empati kian menyempit.

Dalam masyarakat yang digerakkan oleh pasar, kegelisahan bukan lagi penyimpangan--ia menjadi bagian dari ritme hidup itu sendiri.

Fenomena tingginya gangguan kesehatan mental, sebagaimana dicatat WHO (2021), bukan sekadar gejala medis, tetapi konsekuensi struktural dari sistem sosial-ekonomi yang menuntut manusia berlari lebih cepat dari kapasitas jiwanya.

Karl Marx menyebutnya alienasi manusia modern--terpisah dari makna kerja dan esensi dirinya. Di era digital dan ekonomi neoliberal, alienasi itu bermetamorfosis menjadi bentuk-bentuk baru: burnout, kecemasan eksistensial, dan depresi yang tak kasat mata.

Kapitalisme global bukan hanya membentuk pasar tenaga kerja, tetapi juga lanskap batin manusia: kompetitif, lelah, dan terasing.

Sejalan dengan Marx, Michael Marmot (2005), menegaskan bahwa kesehatan mental tidak hanya produk faktor biologis, melainkan hasil interaksi kondisi sosial-ekonomi, budaya, dan lingkungan. Ketimpangan ekonomi memperburuk akses layanan kesehatan mental dan meningkatkan risiko gangguan psikis.

Dalam situasi yang demikian, tidak berlebihan ketika WHO memilih tema "Mental Health in Humanitarian Emergencies" atau "Kesehatan Mental dalam Keadaan Darurat Kemanusiaan" pada peringatan World Mental Health Day 2025, yang jatuh pada hari ini, 10 Oktober.

Kesehatan mental kini menjadi persoalan kemanusiaan dan pembangunan global. Menurut World Health Organization (WHO, 2022), sekitar 14% populasi dunia setara dengan 1,1 miliar orang, hidup dengan gangguan mental.

Gangguan ini mencakup spektrum luas dari kecemasan, depresi, gangguan bipolar, hingga skizofrenia.

Fakta bahwa beban penyakit mental terus meningkat bahkan setelah pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa dunia sedang menghadapi krisis psikologis berskala besar.

Epidemiologi Global: Siapa yang Paling Rentan?

Laporan Global Burden of Disease Study 2021 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental meningkat hampir 50% dalam tiga dekade terakhir, dengan gangguan kecemasan dan depresi menjadi dua diagnosis paling sering terjadi (GBD Collaborators, 2023).

Secara global, gangguan mental berkontribusi terhadap 1 dari 8 kasus years lived with disability (YLD), menjadikannya salah satu penyebab utama hilangnya produktivitas manusia (Vos et al., 2022).

a. Berdasarkan Usia

Remaja dan dewasa muda berada dalam kategori risiko tertinggi. WHO (2021) melaporkan bahwa 1 dari 7 anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan mental, dan separuh dari semua gangguan jiwa dimulai sebelum usia 14 tahun.

Data longitudinal dari Lancet Psychiatry menunjukkan tren peningkatan kasus depresi sebesar 28% pada kelompok usia 15-24 tahun antara tahun 2000 dan 2020 (Patel et al., 2021).

Tekanan akademik, disrupsi digital, dan ketidakpastian masa depan menjadi stressors baru bagi generasi muda.

Dalam konteks Indonesia, survei Jakpat (2023) menemukan 67% mahasiswa mengaku mengalami kecemasan berlebih dalam dua tahun terakhir, terutama terkait masa depan ekonomi dan pekerjaan.

b. Berdasarkan Tingkat Perekonomian

WHO (2022) menegaskan bahwa lebih dari 80% individu dengan gangguan mental hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Low-and Middle-Income Countries atau LMICs). 

Namun, negara-negara ini hanya mengalokasikan rata-rata 2% dari anggaran kesehatan nasionalnya untuk kesehatan jiwa. Akibatnya, treatment gap mencapai 75-90% di sebagian besar negara berkembang (Patel et al., 2018).

Indonesia mencerminkan masalah ini: rasio psikiater hanya 0,46 per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO yaitu 1 psikiater per 10.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Keterbatasan akses dan stigma sosial memperburuk situasi, terutama di wilayah non-perkotaan.

Kesehatan Mental di Tengah Ketidakpastian Global

Krisis mental global tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik, ekonomi, dan sosial yang kian tak menentu. Menurut teori social determinants of health (Marmot, 2005), kondisi sosial--seperti pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan lingkungan--menentukan derajat kesehatan mental seseorang.

a. Konflik dan Perang

Perang Rusia-Ukraina, konflik di Gaza, dan kekerasan sipil di Sudan memperlihatkan hubungan langsung antara perang dan kesehatan mental.

Studi oleh The Lancet Global Health (2023) memperkirakan 1 dari 5 individu di wilayah konflik mengalami gangguan depresi atau kecemasan berat.

Trauma akibat kehilangan, pengungsian, dan ketakpastian keamanan menimbulkan dampak psikologis jangka panjang, termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan complex grief disorder (Charlson et al., 2022).

b. Krisis Ekonomi Dunia

Resesi global pasca-pandemi, inflasi, dan ketimpangan ekonomi memunculkan stres finansial yang tinggi.

Data IMF (2023) menunjukkan pertumbuhan global stagnan di bawah 3%, sementara harga pangan meningkat rata-rata 20% sejak 2022.

Studi psikologi ekonomi oleh Viseu et al. (2018) menemukan hubungan positif antara tekanan ekonomi dan prevalensi gangguan kecemasan-depresi di lebih dari 30 negara.

c. Dampak Pandemi COVID-19

Pandemi COVID-19 menimbulkan efek psikologis global yang signifikan. Lancet Psychiatry (2022) melaporkan lonjakan kasus depresi dan kecemasan sebesar 25% pada 2020.

Dalam konteks sosial, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan ketidakpastian menjadi faktor utama meningkatnya gejala mental.

Di Indonesia, survei PDSKJI (2021) menemukan bahwa 64% responden mengalami gejala stres berat selama masa pandemi, dengan tingkat tertinggi pada kelompok usia produktif (20-40 tahun).

Mengapa Kita Gagal Mendengar?

Masalah terbesar kesehatan mental bukan sekadar rendahnya kesadaran, melainkan lemahnya sistem tanggap. WHO (2022) mengidentifikasi tiga hambatan utama di negara berkembang:

  1. Keterbatasan tenaga profesional: kekurangan psikiater dan psikolog klinis mengakibatkan diagnosis terlambat.
  2. Stigma sosial dan budaya: gangguan mental masih dianggap aib, menyebabkan banyak penderita enggan mencari bantuan (Nasir & Pratama, 2021).
  3. Ketiadaan koordinasi lintas sektor: program kesehatan jiwa sering terisolasi dari kebijakan sosial, pendidikan, dan tenaga kerja.

Indonesia mulai memperbaiki sistem ini lewat Rencana Aksi Nasional Kesehatan Jiwa 2022-2026, namun pelaksanaannya masih terbatas di kota besar. Sementara di pedesaan, stigma dan keterbatasan fasilitas masih menjadi penghalang utama (Kemenkes RI, 2023).

Rekomendasi: Dari Krisis ke Ketahanan

Untuk membangun sistem kesehatan mental yang tangguh di tengah ketidakpastian global, kebijakan publik perlu diarahkan ke lima strategi utama:

  1. Integrasi layanan kesehatan mental ke dalam layanan primer.
    Setiap puskesmas harus memiliki skrining depresi dan kecemasan berbasis alat sederhana seperti PHQ-9 atau GAD-7 (WHO, 2022).
  2. Task-shifting dan pelatihan kader komunitas.
    WHO (2021) merekomendasikan pelatihan pekerja kesehatan masyarakat agar mampu melakukan intervensi psikososial ringan, seperti Problem Management Plus (PM+).
  3. Program literasi emosional di sekolah.
    Literasi emosi dan keterampilan sosial perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Studi OECD (2020) menunjukkan bahwa pendidikan sosial-emosional menurunkan risiko depresi remaja hingga 24%.
  4. Jaring pengaman sosial dan ekonomi yang berpihak pada kelompok rentan.
    Bantuan sosial tunai dan perlindungan pekerja informal terbukti memiliki efek protektif terhadap stres dan kecemasan (Viseu et al., 2018).
  5. Kampanye anti-stigma dan partisipasi komunitas.
    Pendekatan berbasis budaya dan agama perlu dimanfaatkan untuk mengikis stigma dan memperluas penerimaan terhadap konseling dan terapi (Nasir & Pratama, 2021).

Penutup

Hari Kesehatan Mental Sedunia seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi momentum untuk memikirkan ulang arah pembangunan manusia.

Dunia kini berada dalam era di mana ketidakpastian adalah kenormalan baru: perang, krisis ekonomi, dan tekanan sosial menjadi bagian hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu, kesehatan mental bukan isu medis semata, tetapi persoalan etika, solidaritas, dan keberlanjutan peradaban.

Menjaga kesehatan mental berarti menjaga kemanusiaan. Ia adalah upaya kolektif agar manusia mampu hidup bermakna meski dalam dunia yang penuh kegelisahan.

Referensi:

Charlson, F., van Ommeren, M., Flaxman, A., Cornett, J., Whiteford, H., & Saxena, S. (2022). New WHO prevalence estimates of mental disorders in conflict settings: A systematic review and meta-analysis. The Lancet Global Health, 10(5), e678-e689.

GBD Collaborators. (2023). Global burden of mental disorders and the burden attributable to mental health risk factors, 1990--2021. The Lancet Psychiatry, 10(3), 196--212.

International Monetary Fund. (2023). World Economic Outlook: Navigating Global Divergences. Washington, DC: IMF.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Rencana Aksi Nasional Kesehatan Jiwa 2022-2026. Jakarta: Kemenkes RI.

Marmot, M. (2005). Social determinants of health inequalities. The Lancet, 365(9464), 1099-1104.

Masten, A. S. (2014). Ordinary magic: Resilience in development. New York: Guilford Press.

Nasir, A., & Pratama, H. (2021). Stigma sosial dan penanganan gangguan jiwa di masyarakat Indonesia. Jurnal Psikologi Sosial Indonesia, 17(2), 85--96.

Patel, V., Saxena, S., Lund, C., & Thornicroft, G. (2018). The Lancet Commission on global mental health and sustainable development. The Lancet, 392(10157), 1553--1598.

Patel, K., et al. (2021). Depression trends among young people aged 15--24 years: A global analysis. The Lancet Psychiatry, 8(7), 559--570.

PDSKJI. (2021). Survei Kesehatan Mental Masyarakat Indonesia di Masa Pandemi COVID-19. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia.

Saputra, R., & Prasetyo, D. (2022). Peran dukungan sosial dalam menurunkan depresi remaja di masa pandemi. Jurnal Psikologi Klinis Indonesia, 8(1), 22--35.

Viseu, J., Leal, R., & Pinto, P. (2018). Financial stress and psychological well-being: The mediating role of social support. Journal of Community Psychology, 46(7), 917--933.

Vos, T., Lim, S. S., & Murray, C. J. (2022). The Global Burden of Disease Study 2021: Summary and implications. The Lancet Public Health, 7(2), e137--e150.

World Federation for Mental Health. (2023). History of World Mental Health Day. Diakses dari https://wfmh.global

World Health Organization. (2021). Adolescent mental health: Fact sheet. Geneva: WHO.

World Health Organization. (2022). World mental health report: Transforming mental health for all. Geneva: WHO.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun