Gangguan ini mencakup spektrum luas dari kecemasan, depresi, gangguan bipolar, hingga skizofrenia.
Fakta bahwa beban penyakit mental terus meningkat bahkan setelah pandemi COVID-19 menunjukkan bahwa dunia sedang menghadapi krisis psikologis berskala besar.
Epidemiologi Global: Siapa yang Paling Rentan?
Laporan Global Burden of Disease Study 2021 menunjukkan bahwa prevalensi gangguan mental meningkat hampir 50% dalam tiga dekade terakhir, dengan gangguan kecemasan dan depresi menjadi dua diagnosis paling sering terjadi (GBD Collaborators, 2023).
Secara global, gangguan mental berkontribusi terhadap 1 dari 8 kasus years lived with disability (YLD), menjadikannya salah satu penyebab utama hilangnya produktivitas manusia (Vos et al., 2022).
a. Berdasarkan Usia
Remaja dan dewasa muda berada dalam kategori risiko tertinggi. WHO (2021) melaporkan bahwa 1 dari 7 anak berusia 10-19 tahun mengalami gangguan mental, dan separuh dari semua gangguan jiwa dimulai sebelum usia 14 tahun.
Data longitudinal dari Lancet Psychiatry menunjukkan tren peningkatan kasus depresi sebesar 28% pada kelompok usia 15-24 tahun antara tahun 2000 dan 2020 (Patel et al., 2021).
Tekanan akademik, disrupsi digital, dan ketidakpastian masa depan menjadi stressors baru bagi generasi muda.
Dalam konteks Indonesia, survei Jakpat (2023) menemukan 67% mahasiswa mengaku mengalami kecemasan berlebih dalam dua tahun terakhir, terutama terkait masa depan ekonomi dan pekerjaan.
b. Berdasarkan Tingkat Perekonomian
WHO (2022) menegaskan bahwa lebih dari 80% individu dengan gangguan mental hidup di negara berpenghasilan rendah dan menengah (Low-and Middle-Income Countries atau LMICs).Â
Namun, negara-negara ini hanya mengalokasikan rata-rata 2% dari anggaran kesehatan nasionalnya untuk kesehatan jiwa. Akibatnya, treatment gap mencapai 75-90% di sebagian besar negara berkembang (Patel et al., 2018).
Indonesia mencerminkan masalah ini: rasio psikiater hanya 0,46 per 100.000 penduduk, jauh di bawah standar WHO yaitu 1 psikiater per 10.000 penduduk (Kementerian Kesehatan RI, 2023). Keterbatasan akses dan stigma sosial memperburuk situasi, terutama di wilayah non-perkotaan.
Kesehatan Mental di Tengah Ketidakpastian Global
Krisis mental global tidak bisa dilepaskan dari konteks geopolitik, ekonomi, dan sosial yang kian tak menentu. Menurut teori social determinants of health (Marmot, 2005), kondisi sosial--seperti pekerjaan, pendapatan, pendidikan, dan lingkungan--menentukan derajat kesehatan mental seseorang.
a. Konflik dan Perang
Perang Rusia-Ukraina, konflik di Gaza, dan kekerasan sipil di Sudan memperlihatkan hubungan langsung antara perang dan kesehatan mental.
Studi oleh The Lancet Global Health (2023) memperkirakan 1 dari 5 individu di wilayah konflik mengalami gangguan depresi atau kecemasan berat.
Trauma akibat kehilangan, pengungsian, dan ketakpastian keamanan menimbulkan dampak psikologis jangka panjang, termasuk post-traumatic stress disorder (PTSD) dan complex grief disorder (Charlson et al., 2022).
b. Krisis Ekonomi Dunia
Resesi global pasca-pandemi, inflasi, dan ketimpangan ekonomi memunculkan stres finansial yang tinggi.
Data IMF (2023) menunjukkan pertumbuhan global stagnan di bawah 3%, sementara harga pangan meningkat rata-rata 20% sejak 2022.
Studi psikologi ekonomi oleh Viseu et al. (2018) menemukan hubungan positif antara tekanan ekonomi dan prevalensi gangguan kecemasan-depresi di lebih dari 30 negara.
c. Dampak Pandemi COVID-19
Pandemi COVID-19 menimbulkan efek psikologis global yang signifikan. Lancet Psychiatry (2022) melaporkan lonjakan kasus depresi dan kecemasan sebesar 25% pada 2020.
Dalam konteks sosial, isolasi, kehilangan pekerjaan, dan ketidakpastian menjadi faktor utama meningkatnya gejala mental.
Di Indonesia, survei PDSKJI (2021) menemukan bahwa 64% responden mengalami gejala stres berat selama masa pandemi, dengan tingkat tertinggi pada kelompok usia produktif (20-40 tahun).
Mengapa Kita Gagal Mendengar?
Masalah terbesar kesehatan mental bukan sekadar rendahnya kesadaran, melainkan lemahnya sistem tanggap. WHO (2022) mengidentifikasi tiga hambatan utama di negara berkembang:
- Keterbatasan tenaga profesional:Â kekurangan psikiater dan psikolog klinis mengakibatkan diagnosis terlambat.
- Stigma sosial dan budaya:Â gangguan mental masih dianggap aib, menyebabkan banyak penderita enggan mencari bantuan (Nasir & Pratama, 2021).
- Ketiadaan koordinasi lintas sektor:Â program kesehatan jiwa sering terisolasi dari kebijakan sosial, pendidikan, dan tenaga kerja.
Indonesia mulai memperbaiki sistem ini lewat Rencana Aksi Nasional Kesehatan Jiwa 2022-2026, namun pelaksanaannya masih terbatas di kota besar. Sementara di pedesaan, stigma dan keterbatasan fasilitas masih menjadi penghalang utama (Kemenkes RI, 2023).
Rekomendasi: Dari Krisis ke Ketahanan