Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hari Kesehatan Mental Sedunia: Sebuah Refleksi Peradaban Kapitalisme Modern

10 Oktober 2025   12:55 Diperbarui: 10 Oktober 2025   12:55 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster hari kesehatan mental sedunia. (Foto:Pexels)

Untuk membangun sistem kesehatan mental yang tangguh di tengah ketidakpastian global, kebijakan publik perlu diarahkan ke lima strategi utama:

  1. Integrasi layanan kesehatan mental ke dalam layanan primer.
    Setiap puskesmas harus memiliki skrining depresi dan kecemasan berbasis alat sederhana seperti PHQ-9 atau GAD-7 (WHO, 2022).
  2. Task-shifting dan pelatihan kader komunitas.
    WHO (2021) merekomendasikan pelatihan pekerja kesehatan masyarakat agar mampu melakukan intervensi psikososial ringan, seperti Problem Management Plus (PM+).
  3. Program literasi emosional di sekolah.
    Literasi emosi dan keterampilan sosial perlu dimasukkan dalam kurikulum pendidikan nasional. Studi OECD (2020) menunjukkan bahwa pendidikan sosial-emosional menurunkan risiko depresi remaja hingga 24%.
  4. Jaring pengaman sosial dan ekonomi yang berpihak pada kelompok rentan.
    Bantuan sosial tunai dan perlindungan pekerja informal terbukti memiliki efek protektif terhadap stres dan kecemasan (Viseu et al., 2018).
  5. Kampanye anti-stigma dan partisipasi komunitas.
    Pendekatan berbasis budaya dan agama perlu dimanfaatkan untuk mengikis stigma dan memperluas penerimaan terhadap konseling dan terapi (Nasir & Pratama, 2021).

Penutup

Hari Kesehatan Mental Sedunia seharusnya tidak hanya menjadi seremoni tahunan, tetapi momentum untuk memikirkan ulang arah pembangunan manusia.

Dunia kini berada dalam era di mana ketidakpastian adalah kenormalan baru: perang, krisis ekonomi, dan tekanan sosial menjadi bagian hidup sehari-hari.

Dalam konteks itu, kesehatan mental bukan isu medis semata, tetapi persoalan etika, solidaritas, dan keberlanjutan peradaban.

Menjaga kesehatan mental berarti menjaga kemanusiaan. Ia adalah upaya kolektif agar manusia mampu hidup bermakna meski dalam dunia yang penuh kegelisahan.

Referensi:

Charlson, F., van Ommeren, M., Flaxman, A., Cornett, J., Whiteford, H., & Saxena, S. (2022). New WHO prevalence estimates of mental disorders in conflict settings: A systematic review and meta-analysis. The Lancet Global Health, 10(5), e678-e689.

GBD Collaborators. (2023). Global burden of mental disorders and the burden attributable to mental health risk factors, 1990--2021. The Lancet Psychiatry, 10(3), 196--212.

International Monetary Fund. (2023). World Economic Outlook: Navigating Global Divergences. Washington, DC: IMF.

Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Rencana Aksi Nasional Kesehatan Jiwa 2022-2026. Jakarta: Kemenkes RI.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun