Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Robot Kasir dan Ritel Pintar: Pemicu Gelombang Pengangguran Baru?

6 Oktober 2025   07:00 Diperbarui: 5 Oktober 2025   22:03 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pertanyaan mendasar muncul: apakah keuntungan besar yang diraih perusahaan melalui robot akan dibagikan secara adil? Apakah negara akan sekadar menonton tanpa memberi perlindungan bagi rakyatnya?

Masalah ini menyentuh jantung keadilan sosial. Robot humanoid mungkin membuat belanja lebih cepat dan murah, tetapi jika di balik itu jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, maka yang terjadi adalah pemindahan beban dari perusahaan kepada masyarakat luas.

Kita harus berani menyebutnya: otomatisasi tanpa regulasi yang berpihak akan melahirkan jurang ketimpangan baru.

Belajar dari Negara Lain

Beberapa negara maju sudah mulai mengantisipasi dampak ini. Jepang, yang terkenal sebagai negara ramah robot, tidak hanya membiarkan otomatisasi berkembang bebas.

Pemerintah Jepang berinvestasi besar-besaran dalam reskilling--pelatihan ulang bagi pekerja agar mereka bisa pindah ke sektor lain yang lebih tahan terhadap disrupsi.

Robot di Jepang bukan sekadar pengganti, tetapi juga pelengkap, karena kebijakan pemerintah memastikan transisi tenaga kerja berjalan lebih mulus.

Uni Eropa bahkan membahas wacana "robot tax"--pajak khusus bagi perusahaan yang menggantikan tenaga kerja manusia dengan robot.

Pajak ini nantinya digunakan untuk mendanai jaminan sosial atau program pelatihan ulang.

Prinsip dasarnya jelas: jika keuntungan perusahaan meningkat karena robot, maka sebagian dari keuntungan itu harus dikembalikan kepada masyarakat yang kehilangan pekerjaan.

Indonesia, sayangnya, masih tertinggal jauh dalam diskusi ini. Kita masih terjebak dalam euforia teknologi, tanpa strategi komprehensif untuk mengantisipasi dampak sosialnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun