Pertanyaan mendasar muncul: apakah keuntungan besar yang diraih perusahaan melalui robot akan dibagikan secara adil? Apakah negara akan sekadar menonton tanpa memberi perlindungan bagi rakyatnya?
Masalah ini menyentuh jantung keadilan sosial. Robot humanoid mungkin membuat belanja lebih cepat dan murah, tetapi jika di balik itu jutaan pekerja kehilangan pekerjaan, maka yang terjadi adalah pemindahan beban dari perusahaan kepada masyarakat luas.
Kita harus berani menyebutnya: otomatisasi tanpa regulasi yang berpihak akan melahirkan jurang ketimpangan baru.
Belajar dari Negara Lain
Beberapa negara maju sudah mulai mengantisipasi dampak ini. Jepang, yang terkenal sebagai negara ramah robot, tidak hanya membiarkan otomatisasi berkembang bebas.
Pemerintah Jepang berinvestasi besar-besaran dalam reskilling--pelatihan ulang bagi pekerja agar mereka bisa pindah ke sektor lain yang lebih tahan terhadap disrupsi.
Robot di Jepang bukan sekadar pengganti, tetapi juga pelengkap, karena kebijakan pemerintah memastikan transisi tenaga kerja berjalan lebih mulus.
Uni Eropa bahkan membahas wacana "robot tax"--pajak khusus bagi perusahaan yang menggantikan tenaga kerja manusia dengan robot.
Pajak ini nantinya digunakan untuk mendanai jaminan sosial atau program pelatihan ulang.
Prinsip dasarnya jelas: jika keuntungan perusahaan meningkat karena robot, maka sebagian dari keuntungan itu harus dikembalikan kepada masyarakat yang kehilangan pekerjaan.
Indonesia, sayangnya, masih tertinggal jauh dalam diskusi ini. Kita masih terjebak dalam euforia teknologi, tanpa strategi komprehensif untuk mengantisipasi dampak sosialnya.