Banyak mahasiswa, lulusan SMA, atau pekerja migran yang menggantungkan hidup pada profesi ini. Mereka tidak sekadar menjalankan mesin kasir, melainkan menjaga keberlangsungan ekonomi keluarga.
Dengan kata lain, otomatisasi ritel bukan hanya persoalan teknologi, melainkan juga persoalan sosial-ekonomi yang menyentuh urat nadi kehidupan rakyat kecil.
Kekhawatiran pun semakin memuncak. Menurut laman resmi Galbot menulis bahwa robot G-1 miliknya mempunyai "tingkat keberhasilan hingga 95%. Saat ini, Galbot dapat beroperasi 24/7 di toko seluas 50 meter persegi, mengotomatiskan seluruh proses penanganan 5.000 barang, 6.000 lorong, dan lebih dari 10.000 kotak barang dagangan."
Sejarah yang Selalu Berulang
Perdebatan tentang "mesin menggantikan manusia" sebenarnya bukan hal baru. Sejarah mencatat bagaimana revolusi industri pertama menggusur para pengrajin tekstil di Inggris, menimbulkan perlawanan kaum Luddite yang menghancurkan mesin-mesin tenun.
Revolusi digital di akhir abad ke-20 juga menyingkirkan banyak profesi tradisional yang tak mampu beradaptasi dengan komputerisasi.
Kini, revolusi robotik menghadirkan dilema yang lebih kompleks. Bedanya, yang tergantikan bukan lagi pekerjaan berbasis otot semata, melainkan pekerjaan yang melibatkan interaksi langsung dengan konsumen.
Robot humanoid dengan wajah ramah dan gerak tubuh menyerupai manusia memberi kesan bahwa teknologi bukan hanya mengambil alih, tetapi juga meniru peran sosial yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.
Ketidakadilan Sosial yang Mengintai
Di balik wajah ramah robot kasir, ada bayangan ketidakadilan sosial. Jika perusahaan hanya mengejar efisiensi, maka pekerja manusia akan menjadi pihak yang paling dikorbankan.