Makanya, saat Presiden Prabowo ngajak ngobrol para pemred secara terbuka, ini sebenarnya udah masuk ke salah satu pendekatan paling relevan: komunikasi politik berbasis dialog terbuka dan autentik.
Analisis Teoritis: Dari Top-Down ke Horizontal
Menurut teori komunikasi politik modern, ada dua model utama: top-down (lama) dan horizontal (baru).
Model lama mengandalkan media tradisional seperti televisi dan koran sebagai perantara antara politisi dan publik. Tapi sekarang, dengan media sosial, politisi bisa langsung ngobrol sama rakyat tanpa perlu "jembatan" media.
Pendekatan horizontal ini lebih interaktif dan personal. Presiden bisa langsung nge-tweet atau bikin video pendek di Instagram untuk menyampaikan pesan.
Ini bukan cuma soal teknologi, tapi soal perubahan ekspektasi publik. Orang sekarang lebih suka dialog dua arah daripada sekadar mendengar pidato panjang yang membosankan.
Menurut teori authentic leadership (Avolio & Gardner, 2005), pemimpin yang mampu menunjukkan dirinya secara otentik--tanpa topeng, tanpa sandiwara--akan lebih dipercaya.Â
Dalam komunikasi politik, ini nyambung ke relational theory of democracy (Dryzek, 2009) yang menekankan pentingnya komunikasi dua arah, bukan sekadar top-down monolog dari kekuasaan.
Nah, format ngobrol santai dengan wartawan bisa jadi panggung buat membangun kesan otentik itu. Tapi, tantangannya adalah: gimana caranya biar gak jadi "setting-an otentik" alias pura-pura santai? Ini PR besar.
Studi Kasus: Diskusi Terbuka ala Prabowo
Ketika Presiden Prabowo mengundang tujuh pemred untuk diskusi terbuka, itu adalah langkah berani menuju transparansi. Format ini punya beberapa keunggulan: Keterbukaan, Interaksi Real-Time, dan Humanisasi Pemimpin.