Mungkin terdengar standar, tapi buat Gen Z, ini bisa terasa dangkal. Kenapa? Karena mereka tumbuh dalam era yang menghargai purpose dan authenticity. Mereka lebih pengen ditanya:
- "Apa value personal kamu yang cocok sama perusahaan ini?"
- "Gimana kamu menyelesaikan konflik di tim waktu kuliah?"
- "Project apa yang paling bikin kamu bangga, dan kenapa?"
Dari kacamata psikologi komunikasi, ini bisa dijelaskan lewat Communication Accommodation Theory (Giles, 1973).
Teori ini bilang kalau komunikasi bisa lebih efektif kalau kedua pihak bisa menyesuaikan gaya bicara.
Nah, masalahnya, banyak pewawancara masih berpegang pada gaya formal dan "interogatif" ala tahun 90-an, sedangkan Gen Z lebih responsif terhadap gaya komunikasi horizontal, personal, dan autentik.
Makanya, ketika pewawancara nanya, "Ceritakan kelemahan kamu," sebagian Gen Z bisa aja jawab jujur banget atau malah ngeblank karena ngerasa pertanyaannya... klise.
Kecanggihan yang Bikin Malah Ribet
Ironisnya, karena Gen Z jago teknologi, mereka sering overprepare.
Banyak dari mereka nonton video "trik lolos interview," ikut webinar, sampai script jawaban.
Hasilnya? Jawaban mereka bisa terdengar artifisial atau jawaban template. Padahal HRD itu udah peka banget kalau calon karyawan lagi acting.
Dan di sinilah Impression Management Theory (Goffman, 1959) masuk. Gen Z sering terjebak dalam dilema antara pengen jujur dan pengen terlihat "ideal" di mata interviewer.
Alhasil, mereka kehilangan keaslian mereka sendiri. HRD pun jadi bingung: ini anak beneran kayak gini atau cuma ngikutin template?