Mohon tunggu...
Tino Rahardian
Tino Rahardian Mohon Tunggu... Peneliti Senior Swarna Dwipa Institute (SDI)

Sosialisme Indonesia. Secangkir kopi. Buku. Puncak gunung. "Jika takdir menghendakimu kalah, berikanlah dia perlawanan yang terbaik" [William McFee].

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Habiskan Rp1,2 Triliun, Mengapa Coretax masih Panen Keluhan?

22 Februari 2025   15:49 Diperbarui: 22 Februari 2025   15:49 317
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tangkapan layar Coretax. (Sumber: coretaxdjp.pajak.go.id)

Cortex, diperkenalkan secara resmi oleh Presiden Prabowo pada 31 Desember 2024, bersamaan dengan rapat tutup buku APBN 2024. Namun, keluhan datang terus silih berganti.

Dalam era digitalisasi yang semakin pesat, transformasi teknologi informasi (TI) telah menjadi kunci dalam meningkatkan efisiensi dan transparansi di berbagai sektor, termasuk perpajakan.

Di Indonesia, salah satu inisiatif penting dalam bidang ini adalah pengembangan dan implementasi aplikasi Coretax.

Coretax merupakan sistem perpajakan digital yang dirancang untuk memudahkan administrasi perpajakan, meningkatkan kepatuhan wajib pajak, dan mendukung kebijakan fiskal pemerintah.

Sederhananya, sistem ini mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan dalam satu platform digital yang efisien.

Sejarah dan Pengembangan Coretax

Coretax dirancang sejak tahun 2018 sebagai bagian dari proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), yang diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018. 

Proyek ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dalam mengelola data perpajakan yang semakin kompleks dan banyak.

Pelaksanaan tender untuk pengadaan sistem ini dimenangkan oleh LG CNS Qualysoft Consortium, anak perusahaan dari LG Corporation, dengan total biaya mencapai lebih dari Rp1,2 triliun. 

Proses pengujian operasional dilakukan pada akhir tahun 2024 sebelum peluncuran resmi.

Kontraktor utama dalam proyek Coretax adalah LG CNS, yang bertanggung jawab atas pengembangan dan implementasi sistem berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS).

Konsorsium ini dipilih melalui proses tender yang ketat, dan mereka diharapkan dapat memberikan solusi yang sesuai dengan kebutuhan administrasi perpajakan Indonesia.

Keluhan Utama Pengguna Coretax

Pengguna Coretax di Indonesia telah melaporkan berbagai keluhan yang mencerminkan tantangan signifikan dalam penggunaan sistem baru ini. Berikut adalah beberapa keluhan utama yang dialami oleh pengguna:

1. Data Tidak Diakui: Salah satu keluhan paling mendasar adalah bahwa Coretax tidak mengakui data yang telah diinput selama bertahun-tahun di sistem lama. Pengguna terpaksa memasukkan ulang seluruh informasi, termasuk kolom baru yang membingungkan seperti NIK Notaris, yang tidak ada sebelumnya.

2. Kendala Teknis: Banyak pengguna mengalami masalah teknis seperti sistem yang sering crash, akses lambat, dan error pada aplikasi. Beberapa laporan menyebutkan bahwa pengguna hanya dapat mengakses sistem di luar jam kerja karena ketidakstabilan.

3. Proses Validasi yang Bermasalah: Pengguna melaporkan kegagalan dalam proses validasi wajah dan sertifikat elektronik, di mana sertifikat yang berhasil dibuat terkadang tercantum atas nama orang lain. Hal ini menyebabkan kebingungan dan keterlambatan dalam proses administrasi pajak.

4. Kesulitan dalam Pembuatan Akun: Proses pembuatan akun di Coretax tidak berjalan lancar, sering kali menu tidak muncul atau terjadi kesalahan saat pengguna mencoba untuk login.

5. Kendala pada Fitur Layanan: Terdapat banyak masalah dengan fitur layanan, seperti tidak dapat membuat faktur pajak pelunasan, kesulitan dalam mengajukan sertifikat untuk direktur asing, dan masalah sinkronisasi data profil wajib pajak yang mengganggu pembuatan withholding tax.

6. Kurangnya Pelatihan: Banyak pengguna, baik pegawai Direktorat Jenderal Pajak (DJP) maupun wajib pajak, melaporkan kurangnya pelatihan untuk mengoperasikan sistem baru ini. Hal ini mengakibatkan kesalahan operasional dan penurunan produktivitas.

7. Masalah Infrastruktur: Pengguna juga mengalami kendala terkait kapasitas infrastruktur teknologi yang tidak memadai untuk menangani volume data tinggi. Ini menyebabkan bottleneck dan waktu respons server yang lambat.

8. Kualitas Data Rendah: Ada banyak masalah terkait kualitas data yang dimasukkan ke dalam sistem Coretax, termasuk data yang tidak lengkap atau duplikasi, yang menyebabkan kesalahan administrasi pajak.

Keluhan-keluhan tersebut tidak dapat dianggap sepele, karena dampaknya akan sangat luar biasa.

Keamanan siber, misalnya. Dengan pengelolaan data sensitif wajib pajak, Coretax berpotensi menjadi target serangan siber. Keamanan sistem menjadi perhatian utama di tengah masalah teknis lainnya.

Biaya operasional akan bertambah. Implementasi sistem CoreTax juga memerlukan biaya operasional yang tidak sedikit, baik dari segi pemeliharaan sistem, pelatihan SDM, maupun peningkatan infrastruktur.

Hal ini menjadi beban tambahan bagi pemerintah yang harus memastikan sistem berjalan secara efektif dan efisien.

Perbandingan dengan Sistem Serupa di Negara Lain

Coretax dapat dibandingkan dengan sistem perpajakan digital di beberapa negara, seperti:

Singapura (IRAS): Singapura memiliki sistem perpajakan digital yang sangat maju melalui Inland Revenue Authority of Singapore (IRAS). Sistem ini dikenal karena kemudahan penggunaannya, keamanan data yang tinggi, dan integrasi yang baik dengan sistem pemerintah lainnya. IRAS juga menggunakan kecerdasan buatan (AI) untuk analisis data dan deteksi kecurangan.

Estonia (e-Tax Board): Estonia, yang dikenal sebagai negara digital terdepan di dunia, memiliki sistem e-Tax Board yang memungkinkan wajib pajak menyelesaikan seluruh proses perpajakan dalam hitungan menit. Sistem ini didukung oleh infrastruktur digital yang kuat dan kebijakan pemerintah yang mendukung inovasi.

India (GSTN): India meluncurkan Goods and Services Tax Network (GSTN) untuk mengelola pajak pertambahan nilai (PPN). Meskipun menghadapi tantangan serupa dengan Coretax, seperti infrastruktur yang tidak merata, GSTN berhasil meningkatkan kepatuhan pajak secara signifikan.

Sistem Digital Tax di Negara-negara Eropa

Coretax di Indonesia dan Digital Service Tax (DST) yang diterapkan di negara-negara seperti Inggris, Prancis, dan Italia memiliki tujuan yang sama yaitu untuk meningkatkan keadilan dalam sistem perpajakan, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara digital. 

Namun, mereka berbeda dalam pendekatan dan tantangan yang dihadapi.

Coretax bertujuan untuk mengintegrasikan berbagai layanan perpajakan ke dalam satu platform digital, dengan harapan dapat mengatasi masalah administrasi yang ada saat ini. 

Meskipun telah diluncurkan, Coretax masih menghadapi tantangan teknis dan kebutuhan pelatihan bagi pengguna.

Sementara itu, DST telah diterapkan di beberapa negara Eropa untuk mengenakan pajak pada perusahaan digital tanpa kehadiran fisik di negara tersebut. Dapat meningkatkan pendapatan global dengan estimasi tambahan pendapatan mencapai USD420 miliar.

Meskipun memiliki tujuan serupa, DST menghadapi tantangan dalam menentukan subjek pajak dan menghindari penghindaran pajak lintas batas.

Kedua sistem ini beroperasi dalam kerangka kerja internasional yang diprakarsai oleh OECD, yang bertujuan untuk menciptakan konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital, meskipun implementasi dan efektivitasnya masih menjadi perdebatan di berbagai negara.

Kesimpulan

Coretax merupakan langkah penting dalam modernisasi sistem perpajakan Indonesia. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, sistem ini memiliki potensi besar untuk meningkatkan efisiensi dan transparansi administrasi perpajakan.

Keberhasilan sistem ini sangat bergantung pada kemampuan untuk mengatasi permasalahan yang ada serta memastikan bahwa semua pihak terkait dapat beradaptasi dengan perubahan ini.

Dengan belajar dari pengalaman negara lain dan terus melakukan perbaikan, Coretax dapat menjadi model sukses bagi negara berkembang lainnya.

Referensi:

Direktorat Jenderal Pajak Indonesia. (2020). Laporan Tahunan Coretax 2020. Jakarta: DJP.

World Bank. (2019). Digital Transformation in Tax Administration: Case Studies. Washington, DC: World Bank Group.

OECD. (2021). Tax Administration 2021: Comparative Information on OECD and Other Advanced and Emerging Economies. Paris: OECD Publishing.

Gupta, A. (2018). GSTN and Digital Transformation of Tax Administration in India. New Delhi: Tax Research Institute.

Estonian Tax and Customs Board. (2020). e-Tax Board: A Digital Success Story. Tallinn: Estonian Government.

IBM. (2017). Case Study: Coretax Implementation in Indonesia. Armonk, NY: IBM Corporation.

Estherina, Ilona., & Han Revanda. (11 Februari 2025). "Sejarah Sistem Coretax: Didesain sejak 2018, Telan Anggaran Rp 1,2 Triliun hingga Panen Keluhan." https://www.tempo.co/ekonomi/sejarah-sistem-coretax-didesain-sejak-2018-telan-anggaran-rp-1-2-triliun-hingga-panen-keluhan--1205508.

Rachman, Arrijal. (17 Januari 2025). "34 Masalah Coretax DJP yang Bikin Konsultan Pajak Se-Indonesia Pusing." https://www.cnbcindonesia.com/news/20250117082110-4-603883/34-masalah-coretax-djp-yang-bikin-konsultan-pajak-se-indonesia-pusing.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun