"Indonesia kini adalah konsumen fanatik industri sepakbola dunia, bukan produsen kekuatan sepakbola Asia." — Romi Yudianto, Pengamat olahraga (Detik, 2023).
📊 Popularitas dan Kesenjangan Fasilitas
Kritik Membangun
Indonesia saat ini terjebak dalam ilusi prestasi dan fanatisme konsumtif:
-
Fanatisme rakyat dimanfaatkan sebagai pasar industri sepakbola global, bukan sebagai energi pembangunan sepakbola nasional.
Kebijakan orientasi instan (event internasional, naturalisasi) justru mengabaikan pembangunan jangka panjang.
Talenta lokal terkubur oleh mahalnya akses fasilitas dan minimnya pembinaan usia dini yang sistematis.
"Fanatisme kita hanya menguntungkan industri sepakbola asing. Prestasi kita mandek, sistem kita kacau, dan anak bangsa tak punya tempat berkembang." — Akmal Marhali (CNN Indonesia, 2023)
Rekomendasi Perbaikan
1️⃣ Bangun lapangan sepakbola rakyat di setiap Kecamatan, dengan akses gratis atau murah.
2️⃣ Wajibkan klub Liga 1 dan Liga 2 memiliki akademi usia dini yang aktif.
3️⃣ Alihkan anggaran naturalisasi untuk pembinaan pemain lokal.
4️⃣ Integrasikan sepakbola dalam kurikulum pendidikan dasar.
5️⃣ Audit total tata kelola PSSI dan klub, tingkatkan transparansi.
Kesimpulan
Fanatisme sepakbola Indonesia adalah aset sosial yang luar biasa, tetapi selama tidak dibarengi dengan tata kelola yang baik dan pembangunan dari akar rumput, kita hanya akan menjadi bangsa penonton sepakbola, bukan pelaku sepakbola. Sepakbola semestinya menjadi alat pemberdayaan rakyat dan penggerak kesehatan bangsa, bukan sekadar industri konsumtif untuk rakyatnya sendiri.
Indonesia menunjukkan gelombang kemajuan beragam: lolos jauh di putra senior, prestasi gemilang di putri senior, dan munculnya bakat muda di U‑17. Namun, upaya konsolidasi diperlukan untuk menutup celah antara popularitas dan kinerja elite — terutama melalui pembenahan sistem pembinaan, fasilitas, dan kontinuitas tim di semua level.
Daftar Pustaka